Kekerasan Agama di Negeri
Multikulturalistik
Oleh Isna Wahyuningsih F
E04209034
Sekian banyak kekerasan yang terjadi di masyarakat, kekerasan atas
nama agama, suku, dan budaya mempunyai intensitas yang paling besar. Karena di
dalamnya sudah berkembang bentuk-bentuk kekerasan yang kompleks. Kekerasan
Agama itu sangat Ironis, karena dalam agama banyak ajaran untuk menuju kepada
kebaikan dan saling toleransi antara satu dengan yang lain.
Perbedaan dua pandagan itu merupakan implementasi dari praktis
keagamaan yang terjadi di bumi Indonesia dengan multikulturalistiknya.
Perbedaan ini sudah terjadi beberapa tahun dalam dilematisme konsep keagamaan
yang cocok dengan keragaman bangsa ini. Banyak kelompok yang menawarkan
keagamaan alternatif yang ditujukan agar pandangan yang mengatakan bahwa agama
hanya mendatangkan kesengsaraan di dunia. Akan tetapi adanya akternatif
tersebut, tidak membawa sebuah perubahan bagi bangsa yang multi agama, etnis,
melainkan egoisme dan ekskusivme kelompok serta ajaran tertentu membuat dimensi
kekerasan di tingkat SARA semakin meluas.
Pengeboman dan pembakaran Gereja di Poso dan Ambon, Pembakaran
Gereja di Situbondo, beberapa tahun lalu merupakan bukti nyata pemahaman
manusia terhadap agamanya masih menggunakan kacamata kuda yang hanya
membenarkan proses keagamaannya sendiri dan menilai agama lain adalah salah.
Seperti inilah potret negeri kita, negeri yang terhimpun dari
berbagai perbedaaan agama, suku, etnik budaya. Bangsa yang beragama nampaknya
hanya sebuah tulisan, dalam praktek keagamaan toleransi yang terkandung dalam
nilai-nilai agama tidak dipahami secara mendasar sehingga mengakibatkan
banyaknya kekerasan, kerusuhan yang beratasnamakan agama. Tidak adanya rasa
menghormati antara yang satu dengan lainnya.
Ketika sebuah Pluralitas agama diurus dengan baik, maka akan
menjadi energi yang indah menjadikan Indonesia yang beradab. Sebaliknya, ketika
pluralitas betul-betul salah urus, maka ia akan menjadi pematik yang dahsyat
bagi kekerasan dan kehancuran total. Lantas bagaimana menanam Pluralisme agama di
negeri ini agar tercipta sebuah kerukanan beragama. Pertama, memberikan ruang yang bebas bagi jaminan kebebasan
beragama. Memberikan ruang gerak yang luas bagi agama minoritas seperti
Kristen, Hindu, Budha, Konghuchu, selama mereka tidak keluar dari koridor
ajaran serta aturan yang telah dibuat. Tidak mendiskriminasikan agama lain
dalam mengekspresikan kebudayaan mereka.
Kedua. Bagi mereka yang bisa mengambil manfaat
keagamaannya karena memang mengetahui apa yang harus dilakukan dengan ajaran
agama mereka, mereka tidak kebingungan dalam realitas social keagamaan yang
ada. Mereka tidak mempermasalahkan proses keagamaan lainnya dan menerima bentuk
ajaran agama lain sebagai realitas keagamaan yang di anut oleh para pengikutnya
masing-masing. Ritual keagamaan yang di jalankan masing-masing agama merupakan
hal yang sama setiap agama yaitu menyerahkan diri kepada Tuhan. Karena itu
bagaimanapun bentuk dan tatacara agama lain beribadah tujuannya hanyalah satu
mendekatkan upenganutnya kepada Tuhan mereka.
Dalam pemikiran Gus Dur, tentang agama dan kemanusiaan. Orang yang
dikatakan beragama yang baik kalau menjunjung tinggi derajat kemanusiaan. Dan
kemanusiaan yang baik didasarkan pada keyakinan agama yang benar. Agama dan
kemanusiaan seperti dua sisi mata uang yang berbeda tapi tidak bisa dipisahkan.
Tidak boleh demi agama lantas melecehkan kemanusiaan dan demi kemanusiaan
mengabaikan agama.
Keberagaman etnis, suku, agama tentunya tidak membuat negara
semakin ruwet, akan tetapi dengan keberagaman membuat kita semakin satu apabila
saling menghormati dan memberikan toleransi yang tinggi antar umat beragama.
Fanatisme yang tidak berlebihan dan menerima keyakinan ajaran agama orang lain
baik secara realitas dan teologis akan menciptakan sebuah negeri
multikukturalistik yang harmonis.