Tuesday, 30 August 2016

Sosok Inspiratif Prof Tuty Alawiyah

Sosok Inspiratif Prof Tuty Alawiyah 
Perjuangan Di Bidang Dakwah, Sosial dan Pendidikan



Matahari begitu menyengat siang itu. Jam ditangan menunjukkan pukul 12.30, terlihat sebuah rumah di Jalan Jatiwaringin, dengan halaman luas tertutup pagar. Ketika memasuki rumah ini, kita akan disambut dengan pepohonan besar yang sejuk tertiup angin. Terdapat dua rumah bercat putih besar di sana. Yah, disinilah sosok Tuty Alwawiyah dibesarkan hingga akhir hayatnya. Seorang ulama perempuan yang hebat yang banyak memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa Indonesia, tidak hanya di bidang agama melainkan sosial juga pendidikan.

Bangsa Indonesia memang baru saja kehilangan sosok perempuan hebat ini. Sosok perempuan yang sangat menginspirasi. Tepatnya di Bulan Mei 2016 lalu, perempuan yang akrab di sapa Prof Tuty Alawiyah ini menghembuskan nafas terakhirnya. Kepergian Prof Tuty meninggalkan duka bagi keluarga, kerabat, anak didik serta anggotanya di organisasi besar Islam As Syafi'iyah. Namun, dibalik kedukaan tersebut, keluarga yang ditinggalkan merasa bangga, karena selama hidupnya, Tuty telah berjuang untuk kepentingan umat Islam, tidak hanya untuk agama, tapi juga bangsa dan negara melalui pendidikan Indonesia.

Datang ke rumahnya, aku bertemu sosok yang wajahnya mirip dengan Prof Tuty Alawiyah. Yah, tidak salah lagi dia adalah putri terakhir Prof Tuty Alawiyah, Syifa Fauziah. Sosok yang ramah seperti Alm. Tuty Alawiyah. Sebagai seorang anak, pasti ia bangga dengan apa yang diperjuangkan sang ibu. "Saya sangat bangga dengan ibu saya, ia adalah sosok yang segala bisa. Penceramah iya, pendakwah iya, pendidik iya dan dia juga social worker," kata Syifa saat ditemui di rumahnya.

Selama ini jika kita mendengar nama Prof Tuty Alawiyah, sebagian masyarakat yang mengenalnya pasti berpendapat bahwa ia adalah sosok pendakwah, penceramah, pimpinan organisasi besar islam As Syafiiyah. Sejak kecil Tuty dibesarkan di lingkungan yang agamis. Nama besarnya yang ia dapat semasa hidupnya tidak lepas dari kedua orangtuannya, KH Abdullah Syafi'i dan Hj. Ruqoyah.

Tuty Di Masa Kecil
Terlahir sebagai anak seorang tokoh ulama betawi KH. Abdullah Syafi'i tidak lantas membuat hidup seorang Tuty Alawiyah mudah dan tanpa perjuangan. Sosok sang ayah, yang notabene seorang ulama tersohor yang berjasa dalam pengembangan pendidikan dan dakwah Islam melalui pendirian perguruan As Syafi'iyah. Sosok Tuty Alawiyah harus membuktikan kepada sang ayah, ditengah-tengah saudaranya yang lain, khususnya saudara laki-laki bahwa ia mampu dan bisa seperti ayahnya.

Sewaktu kecil, Tuty Alawiyah mendapat larangan untuk bersekolah di sekolah konventional atau SD dari sang ayah, Abdullah Sayafi'i. Ia hanya diperbolehkan bersekolah di madrasah milik ayahnya, Yayasan As Syafiiyah. Dari sana pemikiran Tuty Alawiyah untuk berkembang dan ingin mendapatkan wawasan yang lebih banyak tidak hanya dalam bidang agama.
"Saat kecil beliau tidak diperbolehkan sekolah SD, beliau hanya boleh madrasah asyafiiyah punya kita. Nah, pas dia madrasah dia sedih banget karena sepupunya pada sekolah di SD. Akhirnya ia membujuk kakek saya selama satu tahun untuk sekolah di SD. Akhirnya dia sekolah SD di Cibono, Menteng . Di sekolah SD itu, ibu saya bilang ia tidak mau kelas 1 SD, dia ingin langsung masuk kelas 2 karena sodara sepupunya sudah kelas 2, dia malu kalau dibawah sepupunya. Sejak kecil beliau sudah mempunyai insting, pemikiran seperti itu untuk seumuran anak SD, yang langsung ngomong ke kepala sekolah, jika saya tidak bisa mengikuti pelajarannya, saya bersedia di turun ke kelas 1, tapi sekarang beliau ingin duduk di kelas 2 bukan kelas 1," jelas Syifa.

Duduk di bangku SMP, Tuty bersekolah via pos dari Jogja. Sama halnya dengan saat dia SD, larangan sekolah umum pun masih berlaku dari sang ayah. Tetap bersekolah di Yayasan miliknya, Tuty pun mulai mengajar. Hidup mandiri dengan berpenghasilan dari hasil mengajarnya tersebut.

"Saat SMP ibu saya sekolah via pos dari Jogja, jadi tidak boleh sekolah SMP, ibu saya  disana sering ngajar dapat uang sendiri, mengajar di As Syafi'iyah, dia ngajar ibu-ibu  menulis, membaca, menulis arab.  Jadi, beliau mengajar lalu punya uang sendiri disaat  umur yang sangat muda. Dia juga suka sekali pemahaman beliau tentang jika kita  melihat tembok, belum tentu itu tembok, kita jedokin dulu kepala kita, kita buktikan  bahwa itu tembok terasa sakit, kalau itu bener tembok, terasa sakit kepala kita, berarti gak bisa di lewati. Tapi, jika itu tirai,siapa tahu itu tiraikita lewati tidak sakit, kita lewati kita coba, jika itu memang benar tirai bisa kita lewati, dan itu bener juga kita tidak boleh putus asa harus kita coba sampai kita ketemu, jika datelock baru kita mundur," tegas Syifa.

Sosok Tuty kecil harus berjuang membuktikan kepada sang ayah, bahwa ia perempuan mandiri, pintar, dan mampu bersaing dengan yang lain. Syifa Fauziah menjelaskan, bahwa ia pernah mendapat cerita bahwa ketika kecil, Ibunya dididik sangat keras oleh ayahnya. Hingga ia menjadikan dirinya seperti saat ini. Mampu menjadi pemimpin organisasi islam, menjadi pimpinan di universitas As Syafiiyah, bahkan jabatan Menteri Negara Peranan Wanita zaman Presiden Soeharto.

"Saya merasa kakek saya sangat keras mendidik anak-anaknya. Kakek saya berkiprah dimasyarakat, menjadi penceramah, tante dan om adik-adik dari ibu saya semua juga  seperti itu. Kakek saya mungkin bisa dibilang sangat keras dalam mendidik ibu saya, makanya ada dorongan dri ibu saya bahwa menjadi seorang perempuan harus membuktikan diri," kata Syifa.

Ia pun melanjutkan, pada saat itu, posisi perempuan di mata orang betawi adalah masyarakat kelas dua sehingga sebagai seorang anak perempuan, Tuty kecil sudah mempunyai pemikiran untuk bertindak lebih maju untuk bersaing dengan kakak-kakaknya yang laki-laki.

"Orang betawi zaman dulu mungkin merasa anak perempuan dinomorduakan. Tapi pada saat ibu saya membuktikan dan sudah berhasil membuat kakek saya percaya akan kemampuannya, yang menjadi tanggungjawab untuk ibu saya dengan diberikannya tanggung jawab untuk mengurusi kampus, pesantren yatim, beliau bisa melihat sendiri kemampuan dari sosok Tuty Alawiyah," tegasnya.

Di usia yang relatif muda saat itu, Tuty adalah sosok yang tidak membuang-buang waktu. Hal ini dibuktikan sudah banyak ukiran prestasi yang ia dapat. Pada usia tujuh tahun, ia sudah lancar membawa Alquran. Disaat usia sembilan tahun, ia pun berkesemparan untuk membacakan Alquran di Istana Negara dimana saat itu BKOI, sebuah organisasi Islam mengadakan acara pertama pengajian Maulid Nabi Muhammad SAW di kediaman Presiden Soekarno. Saat itu pun Tuty dikenal sebagai membaca qiroah (membaca alquran dengan lagu) cilik hebat. Ia pun sering dipanggil untuk qiroah di acara-acara pernikahan dan acara-acara resmi lainnya.

"Kalau bagaimana bisa membuat Tuty alawiyah yang tegas,berprestasi mungkin sudah dari sananya. Beliau tidak membuang-buang waktu. biarpun kita sedang liburan contohnya nih saat kita liburan, kalau beliau udah bilang jam 8 harus sampai sini, pergi dari sini jam segini dari sana sudah semuanya terjadwal. Dia tidak mau kehilangan waktu untuk itu, beliau tidak ingin waktu hilang digunakan untuk bersantai, nunggu waktu tidak ada. Orangnya tepat waktu, saya salut jujur susah banget diikuti adalah Tepat Waktu, dia lebih  mending datang lebih awal ketimbang harus datang telat. Dan tidak ada kamusnya dia datang telat kecuali karena kemacetan, dari rumah sudah pasti diaberangkat lebih awal," terang Syifa.

Syifa pun mengakui bahwa segala sifat, karakter dan gagasannya saat itu banyak pengaruh dan didikan dari ayahnya. hingga akhirnya Abdullah Sayafi'i mampu menelurkan generasi yang bisa melanjutkan cita-citanya untuk mengembangkan Islam, mengembangkan As SAyafiiyah hingga besar seperti sekarang.

"Pendidikan yang diberikan kakek saya itu adalah ketegasan, bagiamana ibu saya mencari cara untuk membuktikan kepada kakek saya bahwa dia bisa. Kakek saya itu mungkin orang betawi jaman dulu merasa, ibu saya ini paling tua dan dia perempuan. pasti sedikit banyak meragukan kemampuan Tuty, dari sana dari dalam ibu saya merasa saya diragukan, karena itu harus membuktikan saya harus tampil berani, membuktikan diri. Pendidikan keras dan penuh liku-liku sebagai penceramah betawai," kata Ibu dua anak ini

Pembuktian tersebut dimulai ketika remaja Tuty Alawiyah gemar menulis. Pemikirannya pun ia tuangkan dalam sebuah puisi dan artikel yang dimuat di beberapa surat kabar ibukota. Salah satu contoh adalah tulisan berjudul "Santri, Pesantren, Ulama dan Nafiri Ilahi". Puisi yang berjudul "Yusuf sang Agung" pun berhasil menjadi puiasi terbaik versi RRI tahun 1960.

Kemahirannya dalam berpidato dan menyanyikan lagu-lagu qosida pun membuat sang Ayah, Abdullah Sayafi'i semakin percaya akan bakat anaknya tersebut. Tuty remaja sering kali ikut sang ayah untuk berdakwah baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pada tahun 1959 ia pun diajak berdakwah di Singapura dan Malaysia.

"Usia sembilan tahun dia sudah menjadi Qoriah di Istana Negara. Pada saat itu dia berfikir, kalau saya hanya bisa membaca alquran saja tapi tidak bisa ceramah akan sia-sia. Lalu takdir Allah, kakak ibu saya meninggal, dan di situ memberikan kesempatan ke ibu saya bahwa umur berapapun kamu, kau harus siap, karena kakak kamu meninggal dan ibu kamu tidak ada,karena itu umur berapapun kamu harus siap," kata Syifa.

Sepeninggal kakaknya, Tuty tidak hanya mengemban amanah untuk melanjutkan roda organisasi Yayasan pendidikan As Syafiiyah. Tuty harus siap memimpin majlis taklim diumur 15 tahun. Di sana ia punya fikiran bahwa dia harus siap. menginjak usia 20 tahun, pengayaan pola fikir, dan pengayaan ilmu mulai ia kembangkan.

Pemimpin BKMT
Tutty Alawiyah dilahirkan untuk berdakwah. Semenjak usia 9 tahun, Tutty sudah berdakwah menyiarkan agama Islam. Di bawah naungan Yayasan Perguruan As-Syafi'iyah yang didirikan tahun 1933 oleh ayahnya, Tutty membangun Pesantren Putra-Putri dan Yatim, Pesantren Tinggi Darul Agama, Sekolah Tinggi Wiraswasta, serta Universitas Islam Syafi'iyah.

BKMT adalah sebuah organisasi yang berdiri tahun 1981 atas prakarsa As-Syafi'iyah dengan mengundang pengurus-pengurus Majelis-Majelis Taklim Se-Jabotabek untuk bermusyawarah di Pesantren As-Syafi'iyah. Pertemuan itu dihadiri lebih dari 1.500 pimpinan Majelis Taklim yang mewakili 798 Majelis Taklim se-Jabotabek. BKMT sudah tersebar di seluruh propinsi seluruh Indonesia dengan jutaan anggota dan belasan ribu majelis taklim.

Tuty sejak kecil telah terlatih tidak saja untuk berdakwah, ia juga sebagai jembatan penting antara muslim traisonal di level akar rumput dengan pusat-pusat kekuasaaan sekular dari semenjak Presiden Soeharto, hingga Presiden Jokowi.

Tuty berhasil mentransformasikan kaum perempuan muslimah melalui pengajian secara mdoern, visione dan memberdayakan secara sosial, kultural ekonomi bahkan politik. Ia memulai dakwah dari umur yang sangat muda sekali, umur 15 beliau sudah menggantikan kakaknya menjadi pimpinan di majlis taklim, lalu menjadi pimpinan atau pendirikan BKMT pada tahun 1978 jadi saya rasa itu sebagai pembuktian beliau bahwa memang beliau adalah penceramah atau ulama perempuan yang serba bisa dan bisa dimanapun ditempatkan.

Alumnus UIN Syarif Hidayatullah tersebut mempunyai beberapa berbagai macam profesi. Waktu ia masih hidup ada tiga bidang yang ia geluti, pendidikan, sosial dan dakwah. Dari pendidikan dia sebagai rektor di Universitas Islam As-syafiiyah. Dengan ia sebagai rektor banyak pelajaran yang bisa kita ambil.Membangun pendidikan berbasis Islam yang memadukan ilmu dan agama. Itu sangat selalu di dengungkan saat Tuty masih hidup. Bagaimana mengaplikaskan ilmu dan agama itu di kampus Universitas Islam Asyafi'iyah.  Tuty ingin mahasiswanya juga terampil juga mempunyai pemihakan kaum dhuafa. Selain ilmu juga punya karakter Islam yang kuat

"Dari yang ibu saya lakukan di bidang  pendidik,bahwa visi ke depannya seorang pendidik terus juga punya rasa tanggungjawab untuk mencetak generasi penerus dan juga punya visi untuk menjadikan kampus itu menjadi tempat pengembangan ilmu dan keislaman yang selalu beliau fikirkan seperti itu," kata Syifa

Sosok Pendakwah
Sosoknya sebagai ustadzah,  penceramah, guru yang tidak hanya menurut Syifa tidak hanya di majlis taklim yang ia bangun dan menjadi penceramah yang bukan sekadar ulama tapi beliau juga bisa memberdayakan masyarakat khususnya muslimah perempuan.

"Kalau  lagi ceramah  itu sangat cerdas, to the point, menurut saya belum bisa melihat penceramah perempuan yang bisa mencakup segala bidang. Mau ceramah maulid di kampung, musala, beliau membawa fikiran yang aktual apa yang terjadi saat ini dimasyarakat.  Jadi jika kita mendengar ceramah di desa, kampung mungkin banyak yang hanya berkisar kejadian sehari-hari saja.tapi ibu saya bisa memabwa aktual itu masalah sosial, ekonomi," kata Syifa

Rektor Universitas Islam As Syafi'iyah ini pun sangat mumpuni dalam hal berdakwah. Ia bisa menempatkan diri dimanapun ia berada. Baik ketika ia berdakwah di tingkat level kalangan masyarakat biasa maupun kelas internasional. Tidak ada seorang penceramah seperti Tuty.

"Saya juga sering menemani beliau ke konference di daerah ataupun international beliau bisa menempatkan dirinya untuk berbicara di depan khalayak ramai yang well educated, terus juga mungkin pejabat pemerintahan yang punya power yang sangat tinggi. Beliau bisa menempatkan diri dimana saja, apakah di kelas sosial yang tinggi atau kelas sosial yang rendah beliau bisa menempatkan dirinya sangat tidak memilih," kata Syifa.

Di ulang tahun terakhirnya, lanjut Syifa, bahwa Tuty alawaiyah itu tidak banyak orang seperti itu karakteristiknya, kita melihat ustad atau ustadzah baru kita melihat mereka memasang tarif yang mahal-mahal mau dia dikampung, di musala, di kota besar  dikonferensi internasional atau menjadi penceramah di acara kenegeraan lainnya, powernya tetap sama, semangatnya tetap sama, isinya aktual dan bisa diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan sama sekali tidak mendiskreditkan kalangan bawah. "Jadi saya rasa untuk menjadi seorang penceramah beliau bisa menempatkan diri dimana saja," tegasya.

Ketua Internasional Moslem Women Union (IMWU) ini pun juga aktif bergerak di ranah sosial.Saat ini ada sekitar 250 anak yatim piatu yang berada dalam naungan Yayasan Yatim As Syafiiyah. Ia juga sangat peduli ketika bencana tsunami, waktu ada gempa bumi, longsor beliau  selalu  mencoba untuk memberitahukan kepada pihak pemerintahan sana bahwa ada anak yatim yang ingin ditempatkan di yayasan miliknya.

"Alhmadulilah kita punya anak sekitar 250 anak yatim dari seluruh daerah di Indoesia. Dari SD sampai SMA, ada juga alumni yang akan kita kuliahkan di UIA. Sisi humanisnya, sosialnya sangat tinggi, kita semua di lingkungan yang sama dengan beliau yang ada. jadi menurut saya beliau adalah jadi contoh bahwah bagaimanapun tingginya kiprah kita di masyarakat atau pemerintahan atau suksesnya kita kita tidak boleh lupa dengan anak yatim. Saya dapat pelajaran itu dari sosok Tuty Alawiyah," tegas Syifa yang juga saat ini menjabat sebagai Ketua Hijabers Community Jakarta.

Dibalik sosok tegas, visioner, humanis Tuty Alawiyah. Tuty tetaplah seorang ibu dengan lima anak. Diakui oleh Syifa Fauziah, selama hidupnya sang ibu adalah sosok yang super sibuk namun sama sekali tidak meninggalkan kewajibannya sebagai seorang ibu. Ia pun tidak pernah memaksakan anak-anaknya jadi apa. Pendidikan karakter yang diberikan ayahnya kepada dirinya tidak diterapkan kepada anak-anaknya. Ia lebih demokratis dalam mendidik sang anak. "Mama tidak pernah keras mendidik anak-anaknya, tidak pernah memaksakan juga," kata Syifa

Waktu untuk berdakwa dan aktivitas di dunia pendidikan, Tuty Alawiyah yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Bidang Pemberdayaan Perempuan ini pun selalu menyempatkan untuk berkumpul dengan keluarga. Ia pun selalu mendiskusikan hal-hal terkait pekerjaan, perkembangan yayasan dengan anak-anaknya.

"Setiap kumpul selalu diskusi, ngobrol. Kalau saat anak-anaknya kecil hanya ikut saja, tidak dimintai pendapat, tapi saya merasakan setelah pulang dari London, komentar dan pendapat saya cukup di dengar oleh mama, cukup berpengaruh. Yah, 70 persen kita kumpul kita ngomongin pesantren yatim, UIA, pasti kayak gitu. Kiprahnya mama, hal aktual yang terjadi di masyarakat, baru 30 persen ngomongin jalan-jalan, senang-senang, makan-makan. Sebulan sekali kita selalu makan di luar, relaxe mama seperti itu," jelas Syifa.

Sosok pemimpin tegas ini pun ternyata hobi belanja seperti kebanyakan perempuan lainnya. Diakui oleh Syifa, ketika berbelanja mama merasa terhibur dan senang. Makan seafood pun menjadi makanan favoritnya meskipun hal itu dilarang. Dan hobinya adalah rapat dan berbincang dengan orang lain.

"Ibu saya suka belanja, suka beli baju jadi rileksnya bawa dia shopping, suka banget ke Thamrin City, metro. dia sua makan seafood. Selalu murid-muridnya bawa kue, tapi gak dimakan. Mama suka banget cumi, udang, yang sebenarnya gak boleh buat dia makan, mama tau kita banget, dia tidak suka pindah restauran. kita kesana cuman ke satu dua tempat makan saja. Ibu  saya tidak terlalu banyak rahasia, semua orang tahu aslinya, dia bagaimana, hal-hal yang lain dia suka ngumpul,kalau dia sendiri akhirannya dia panggil orang untuk rapat. hobinya rapat sepertinya, kalau satu hari belumada ribuan kata kluar dari mulutnya sepertinya belum pas, sakit kepala," kata Syifa mengenang.

Dari sekian perjalanan hidup yang dilakukan oleh mubalig kondang dan Rektor Universitas As Syafi'iyah ini, Syifa menjelaskan bahwa hampir semua cita-cita dan harapan dari ibunya telah terlaksana dan membawa dampak yang positif bagi lingkungan, bangsa dan negara.

"Yang saya tahu hampir semua mimpi beliau terkabul. Diakhir hidupnya mama selalu mendegungkan ilmu dan agama. Visi kedepannya membangun pendidikan berbasis islam yang memadukan ilmu dan pendidikan, dia tunjukkan sebagai rektor  UIA. sebagai rektor saya bisa membangun pendidikan berbasis Islam, menyandingkan ilmu dan agama. mengaplikasikan ilmu dan agama dalam kehidupan sehari-hari. berharap lulusan UIA juga terampil, peduli dengan kaum dluafa," terangnya.

Bagi Syifa sosok Tuty Alawiyah adalah sosok yang inspiratif, tidak ada gantinya, dan tidak terganti oleh siapapun. Hal ini tidak hanya dia sebagai anak rasakan tapi masyarakat luas pun menganggap demikian. Tidak ada yang seperti Tuty Alawiyah, seorang ulama, pendidik, pernah menjadi menteri, tokoh nasional internasional, sangat kental dengan kebetawiannya, yang terus mendengungkan kiprah perempuan. Perempuan adalah pilar bangsa.


Berfoto bersama Syifa Fauziah usia wawancara

*Tulisan ini dibuat untuk keikutsertaan dalam lomba menulis ulama dan keulamaan perempuan 2016 yang diselenggarakan oleh  Kongres Ulama Prempuan Indonesia (KUPI)


No comments:

Post a Comment