Sosok Inspiratif Prof Tuty Alawiyah
Perjuangan Di Bidang Dakwah, Sosial dan Pendidikan
Matahari begitu menyengat siang itu. Jam ditangan menunjukkan pukul 12.30, terlihat sebuah rumah di Jalan Jatiwaringin, dengan halaman luas tertutup pagar. Ketika memasuki rumah ini, kita akan disambut dengan pepohonan besar yang sejuk tertiup angin. Terdapat dua rumah bercat putih besar di sana. Yah, disinilah sosok Tuty Alwawiyah dibesarkan hingga akhir hayatnya. Seorang ulama perempuan yang hebat yang banyak memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa Indonesia, tidak hanya di bidang agama melainkan sosial juga pendidikan.
Bangsa
Indonesia memang baru saja kehilangan sosok perempuan hebat ini. Sosok
perempuan yang sangat menginspirasi. Tepatnya di Bulan Mei 2016 lalu, perempuan
yang akrab di sapa Prof Tuty Alawiyah ini
menghembuskan nafas terakhirnya. Kepergian Prof Tuty meninggalkan duka bagi
keluarga, kerabat, anak didik serta anggotanya di organisasi besar Islam As
Syafi'iyah. Namun, dibalik kedukaan tersebut, keluarga yang ditinggalkan merasa
bangga, karena selama hidupnya, Tuty telah berjuang untuk kepentingan umat
Islam, tidak hanya untuk agama, tapi juga bangsa dan negara melalui pendidikan
Indonesia.
Datang
ke rumahnya, aku bertemu sosok yang wajahnya mirip dengan Prof Tuty Alawiyah. Yah, tidak
salah lagi dia adalah putri terakhir Prof Tuty Alawiyah, Syifa Fauziah. Sosok
yang ramah seperti Alm. Tuty Alawiyah. Sebagai seorang anak, pasti ia bangga
dengan apa yang diperjuangkan sang ibu. "Saya sangat bangga dengan ibu
saya, ia adalah sosok yang segala bisa. Penceramah iya, pendakwah iya, pendidik
iya dan dia juga social worker," kata Syifa saat ditemui di rumahnya.
Selama
ini jika kita mendengar nama Prof Tuty Alawiyah, sebagian masyarakat yang mengenalnya
pasti berpendapat bahwa ia adalah sosok pendakwah, penceramah, pimpinan
organisasi besar islam As Syafi’iyah. Sejak
kecil Tuty dibesarkan di lingkungan yang agamis. Nama besarnya yang ia dapat
semasa hidupnya tidak lepas dari kedua orangtuannya, KH Abdullah Syafi'i dan
Hj. Ruqoyah.
Tuty Di Masa Kecil
Terlahir
sebagai anak seorang tokoh ulama betawi KH. Abdullah Syafi'i tidak lantas
membuat hidup seorang Tuty Alawiyah mudah dan tanpa perjuangan. Sosok sang
ayah, yang notabene seorang ulama tersohor yang berjasa dalam pengembangan
pendidikan dan dakwah Islam melalui pendirian perguruan As Syafi'iyah. Sosok
Tuty Alawiyah harus membuktikan kepada sang ayah, ditengah-tengah saudaranya
yang lain, khususnya saudara laki-laki bahwa ia mampu dan bisa seperti ayahnya.
Sewaktu
kecil, Tuty Alawiyah mendapat larangan untuk bersekolah di sekolah konventional
atau SD dari sang ayah, Abdullah Sayafi'i. Ia hanya diperbolehkan bersekolah di
madrasah milik ayahnya, Yayasan As Syafiiyah. Dari sana pemikiran Tuty Alawiyah
untuk berkembang dan ingin mendapatkan wawasan yang lebih banyak tidak hanya
dalam bidang agama.
"Saat
kecil beliau tidak diperbolehkan sekolah SD, beliau hanya boleh madrasah
asyafiiyah punya kita. Nah, pas dia madrasah dia sedih banget karena sepupunya
pada sekolah di SD. Akhirnya ia membujuk kakek saya selama satu tahun untuk
sekolah di SD. Akhirnya dia sekolah SD di Cibono, Menteng . Di sekolah SD itu,
ibu saya bilang ia tidak mau kelas 1 SD, dia ingin langsung masuk kelas 2
karena sodara sepupunya sudah kelas 2, dia malu kalau dibawah sepupunya. Sejak
kecil beliau sudah mempunyai insting, pemikiran seperti itu untuk seumuran anak
SD, yang langsung ngomong ke kepala sekolah, jika saya tidak bisa mengikuti
pelajarannya, saya bersedia di turun ke kelas 1, tapi sekarang beliau ingin duduk
di kelas 2 bukan kelas 1," jelas Syifa.
Duduk
di bangku SMP, Tuty bersekolah via pos dari Jogja. Sama halnya dengan
saat dia SD, larangan sekolah umum pun
masih berlaku dari sang ayah. Tetap bersekolah di Yayasan
miliknya, Tuty pun mulai mengajar.
Hidup mandiri dengan berpenghasilan dari hasil mengajarnya tersebut.
"Saat
SMP ibu saya sekolah via pos dari Jogja, jadi tidak boleh sekolah SMP, ibu
saya disana sering ngajar dapat uang
sendiri, mengajar di As Syafi'iyah, dia ngajar ibu-ibu menulis, membaca, menulis arab. Jadi,
beliau mengajar lalu punya uang sendiri disaat
umur yang sangat muda. Dia juga suka sekali pemahaman beliau tentang
jika kita melihat tembok, belum tentu
itu tembok, kita jedokin dulu kepala kita, kita buktikan bahwa itu tembok terasa sakit, kalau itu
bener tembok, terasa sakit kepala kita, berarti gak bisa di lewati. Tapi, jika
itu tirai,siapa tahu itu tiraikita lewati tidak sakit, kita lewati kita coba,
jika itu memang benar tirai bisa kita lewati, dan itu bener juga kita tidak
boleh putus asa harus kita coba sampai kita ketemu, jika datelock baru kita
mundur," tegas Syifa.
Sosok
Tuty kecil harus berjuang membuktikan kepada sang ayah, bahwa ia perempuan
mandiri, pintar, dan mampu bersaing dengan yang lain. Syifa Fauziah
menjelaskan, bahwa ia pernah mendapat cerita bahwa ketika kecil, Ibunya dididik
sangat keras oleh ayahnya. Hingga ia menjadikan dirinya seperti saat ini. Mampu
menjadi pemimpin organisasi islam, menjadi pimpinan di universitas As Syafiiyah,
bahkan jabatan Menteri Negara Peranan Wanita
zaman Presiden Soeharto.
"Saya
merasa kakek saya sangat keras mendidik anak-anaknya. Kakek saya berkiprah
dimasyarakat, menjadi penceramah, tante dan om adik-adik dari ibu saya semua
juga seperti itu. Kakek saya mungkin
bisa dibilang sangat keras dalam mendidik ibu saya, makanya ada dorongan dri
ibu saya bahwa menjadi seorang perempuan harus membuktikan diri," kata
Syifa.
Ia
pun melanjutkan, pada saat itu, posisi perempuan di mata orang betawi adalah
masyarakat kelas dua sehingga sebagai seorang anak perempuan, Tuty kecil sudah
mempunyai pemikiran untuk bertindak lebih maju untuk bersaing dengan
kakak-kakaknya yang laki-laki.
"Orang
betawi zaman dulu mungkin merasa anak perempuan dinomorduakan. Tapi pada saat
ibu saya membuktikan dan sudah berhasil membuat kakek saya percaya akan
kemampuannya, yang menjadi tanggungjawab untuk ibu saya dengan diberikannya
tanggung jawab untuk mengurusi kampus, pesantren yatim, beliau bisa melihat
sendiri kemampuan dari sosok Tuty Alawiyah," tegasnya.
Di
usia yang relatif muda saat itu, Tuty adalah sosok yang tidak membuang-buang
waktu. Hal ini dibuktikan sudah banyak ukiran prestasi yang ia dapat. Pada usia
tujuh tahun, ia sudah lancar membawa Alquran. Disaat usia sembilan tahun, ia
pun berkesemparan untuk membacakan Alquran di Istana Negara dimana saat itu
BKOI, sebuah organisasi Islam mengadakan acara pertama pengajian Maulid Nabi
Muhammad SAW di kediaman Presiden Soekarno. Saat itu pun Tuty dikenal sebagai
membaca qiroah (membaca alquran dengan lagu) cilik hebat. Ia pun sering
dipanggil untuk qiroah di acara-acara pernikahan dan acara-acara resmi lainnya.
"Kalau
bagaimana bisa membuat Tuty alawiyah yang tegas,berprestasi mungkin sudah dari
sananya. Beliau tidak membuang-buang waktu. biarpun kita sedang liburan
contohnya nih saat kita liburan, kalau beliau udah bilang jam 8 harus sampai
sini, pergi dari sini jam segini dari sana sudah semuanya terjadwal. Dia tidak
mau kehilangan waktu untuk itu, beliau tidak ingin waktu hilang digunakan untuk
bersantai, nunggu waktu tidak ada. Orangnya tepat waktu, saya salut jujur susah
banget diikuti adalah Tepat Waktu, dia
lebih mending datang lebih awal
ketimbang harus datang telat. Dan tidak ada kamusnya dia datang telat kecuali
karena kemacetan, dari rumah sudah pasti diaberangkat lebih awal," terang
Syifa.
Syifa
pun mengakui bahwa segala sifat, karakter dan gagasannya saat itu banyak
pengaruh dan didikan dari ayahnya. hingga akhirnya Abdullah Sayafi'i mampu
menelurkan generasi yang bisa melanjutkan cita-citanya untuk mengembangkan
Islam, mengembangkan As SAyafiiyah hingga besar seperti sekarang.
"Pendidikan
yang diberikan kakek saya itu adalah ketegasan, bagiamana ibu saya mencari cara
untuk membuktikan kepada kakek saya bahwa dia bisa. Kakek saya itu mungkin
orang betawi jaman dulu merasa, ibu saya ini paling tua dan dia perempuan.
pasti sedikit banyak meragukan kemampuan Tuty, dari sana dari dalam ibu saya
merasa saya diragukan, karena itu harus membuktikan saya harus tampil berani, membuktikan
diri. Pendidikan keras dan penuh liku-liku sebagai penceramah betawai,"
kata Ibu dua anak ini
Pembuktian
tersebut dimulai ketika remaja Tuty Alawiyah gemar menulis. Pemikirannya pun ia
tuangkan dalam sebuah puisi dan artikel yang dimuat di beberapa surat kabar
ibukota. Salah satu contoh adalah tulisan berjudul "Santri, Pesantren,
Ulama dan Nafiri Ilahi". Puisi yang berjudul "Yusuf sang Agung"
pun berhasil menjadi puiasi terbaik versi RRI tahun 1960.
Kemahirannya
dalam berpidato dan menyanyikan lagu-lagu qosida pun membuat sang Ayah,
Abdullah Sayafi'i semakin percaya akan bakat anaknya tersebut. Tuty remaja
sering kali ikut sang ayah untuk berdakwah baik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Pada tahun 1959 ia pun diajak berdakwah di Singapura dan Malaysia.
"Usia
sembilan tahun dia sudah menjadi Qoriah di Istana Negara. Pada saat itu dia
berfikir, kalau saya hanya bisa membaca alquran saja tapi tidak bisa ceramah
akan sia-sia. Lalu takdir Allah, kakak ibu saya meninggal, dan di situ
memberikan kesempatan ke ibu saya bahwa umur berapapun kamu, kau harus siap,
karena kakak kamu meninggal dan ibu kamu tidak ada,karena itu umur berapapun
kamu harus siap," kata Syifa.
Sepeninggal
kakaknya, Tuty tidak hanya mengemban amanah untuk melanjutkan roda organisasi
Yayasan pendidikan As Syafi’iyah.
Tuty harus siap memimpin majlis taklim diumur 15 tahun. Di sana ia punya
fikiran bahwa dia harus siap. menginjak usia 20 tahun, pengayaan pola fikir,
dan pengayaan ilmu mulai ia kembangkan.
Pemimpin BKMT
Tutty
Alawiyah dilahirkan untuk berdakwah. Semenjak usia 9 tahun, Tutty sudah
berdakwah menyiarkan agama Islam. Di bawah naungan Yayasan Perguruan
As-Syafi'iyah yang didirikan tahun 1933 oleh ayahnya, Tutty membangun Pesantren
Putra-Putri dan Yatim, Pesantren Tinggi Darul Agama, Sekolah Tinggi Wiraswasta,
serta Universitas Islam Syafi'iyah.
BKMT
adalah sebuah organisasi yang berdiri tahun 1981 atas prakarsa As-Syafi'iyah
dengan mengundang pengurus-pengurus Majelis-Majelis Taklim Se-Jabotabek untuk
bermusyawarah di Pesantren As-Syafi'iyah. Pertemuan itu dihadiri lebih dari
1.500 pimpinan Majelis Taklim yang mewakili 798 Majelis Taklim se-Jabotabek.
BKMT sudah tersebar di seluruh propinsi seluruh Indonesia dengan jutaan anggota
dan belasan ribu majelis taklim.
Tuty
sejak kecil telah terlatih tidak saja untuk berdakwah, ia juga sebagai jembatan
penting antara muslim traisonal di level akar rumput dengan pusat-pusat
kekuasaaan sekular dari semenjak Presiden Soeharto, hingga Presiden Jokowi.
Tuty
berhasil mentransformasikan kaum perempuan muslimah melalui pengajian secara
mdoern, visione dan memberdayakan secara sosial, kultural ekonomi bahkan
politik. Ia memulai dakwah dari umur yang sangat muda sekali, umur 15 beliau
sudah menggantikan kakaknya menjadi pimpinan di majlis taklim, lalu menjadi
pimpinan atau pendirikan BKMT pada tahun 1978 jadi saya rasa itu sebagai
pembuktian beliau bahwa memang beliau adalah penceramah atau ulama perempuan
yang serba bisa dan bisa dimanapun ditempatkan.
Alumnus
UIN Syarif Hidayatullah tersebut mempunyai beberapa berbagai macam profesi.
Waktu ia masih hidup ada tiga bidang yang ia geluti, pendidikan, sosial dan
dakwah. Dari pendidikan dia sebagai rektor di Universitas Islam As-syafiiyah.
Dengan ia sebagai rektor banyak pelajaran yang bisa kita ambil.Membangun
pendidikan berbasis Islam yang memadukan ilmu dan agama. Itu sangat selalu di
dengungkan saat Tuty masih hidup. Bagaimana mengaplikaskan ilmu dan agama itu
di kampus Universitas Islam Asyafi'iyah.
Tuty ingin mahasiswanya juga terampil juga mempunyai pemihakan kaum
dhuafa. Selain ilmu juga punya karakter Islam yang kuat
"Dari
yang ibu saya lakukan di bidang
pendidik,bahwa visi ke depannya seorang pendidik terus juga punya rasa
tanggungjawab untuk mencetak generasi penerus dan juga punya visi untuk
menjadikan kampus itu menjadi tempat pengembangan ilmu dan keislaman yang
selalu beliau fikirkan seperti itu," kata Syifa
Sosok Pendakwah
Sosoknya
sebagai ustadzah, penceramah, guru yang
tidak hanya menurut Syifa tidak hanya di majlis taklim yang ia bangun dan
menjadi penceramah yang bukan sekadar ulama tapi beliau juga bisa memberdayakan
masyarakat khususnya muslimah perempuan.
"Kalau
lagi ceramah itu sangat cerdas, to the point, menurut
saya belum bisa melihat penceramah perempuan yang bisa mencakup segala bidang.
Mau ceramah maulid di kampung, musala, beliau membawa fikiran yang aktual apa
yang terjadi saat ini dimasyarakat. Jadi jika kita mendengar ceramah di desa, kampung
mungkin banyak yang hanya berkisar kejadian sehari-hari saja.tapi ibu saya bisa
memabwa aktual itu masalah sosial, ekonomi," kata Syifa
Rektor
Universitas Islam As Syafi'iyah ini pun sangat mumpuni dalam hal berdakwah. Ia
bisa menempatkan diri dimanapun ia berada. Baik ketika ia berdakwah di tingkat
level kalangan masyarakat biasa maupun kelas internasional. Tidak ada seorang
penceramah seperti Tuty.
"Saya
juga sering menemani beliau ke konference di daerah ataupun international
beliau bisa menempatkan dirinya untuk berbicara di depan khalayak ramai yang
well educated, terus juga mungkin pejabat pemerintahan yang punya power yang
sangat tinggi. Beliau bisa menempatkan diri dimana saja, apakah di kelas sosial
yang tinggi atau kelas sosial yang rendah beliau bisa menempatkan dirinya
sangat tidak memilih," kata Syifa.
Di
ulang tahun terakhirnya, lanjut Syifa, bahwa Tuty alawaiyah itu tidak banyak
orang seperti itu karakteristiknya, kita melihat ustad atau ustadzah baru kita
melihat mereka memasang tarif yang mahal-mahal mau dia dikampung, di musala, di
kota besar dikonferensi internasional
atau menjadi penceramah di acara kenegeraan lainnya, powernya tetap sama,
semangatnya tetap sama, isinya aktual dan bisa diterjemahkan dalam kehidupan
sehari-hari. Dan sama sekali tidak mendiskreditkan kalangan bawah. "Jadi
saya rasa untuk menjadi seorang penceramah beliau bisa menempatkan diri dimana saja,"
tegasya.
Ketua
Internasional Moslem Women Union (IMWU) ini pun juga aktif bergerak di ranah
sosial.Saat ini ada sekitar 250 anak yatim piatu yang berada dalam naungan
Yayasan Yatim As Syafiiyah. Ia juga sangat peduli ketika bencana tsunami, waktu
ada gempa bumi, longsor beliau
selalu mencoba untuk
memberitahukan kepada pihak pemerintahan sana bahwa ada anak yatim yang ingin
ditempatkan di yayasan miliknya.
"Alhmadulilah
kita punya anak sekitar 250 anak yatim dari seluruh daerah di Indoesia. Dari SD
sampai SMA, ada juga alumni yang akan kita kuliahkan di UIA. Sisi humanisnya,
sosialnya sangat tinggi, kita semua di lingkungan yang sama dengan beliau yang
ada. jadi menurut saya beliau adalah jadi contoh bahwah bagaimanapun tingginya
kiprah kita di masyarakat atau pemerintahan atau suksesnya kita kita tidak
boleh lupa dengan anak yatim. Saya dapat pelajaran itu dari sosok Tuty
Alawiyah," tegas Syifa yang juga saat ini menjabat sebagai Ketua Hijabers
Community Jakarta.
Dibalik
sosok tegas, visioner, humanis Tuty Alawiyah. Tuty tetaplah seorang ibu dengan
lima anak. Diakui oleh Syifa Fauziah, selama hidupnya sang ibu adalah sosok
yang super sibuk namun sama sekali tidak meninggalkan kewajibannya sebagai
seorang ibu. Ia pun tidak pernah memaksakan anak-anaknya jadi apa. Pendidikan
karakter yang diberikan ayahnya kepada dirinya tidak diterapkan kepada
anak-anaknya. Ia lebih demokratis dalam mendidik sang anak. "Mama tidak
pernah keras mendidik anak-anaknya, tidak pernah memaksakan juga," kata
Syifa
Waktu
untuk berdakwa dan aktivitas di dunia pendidikan, Tuty Alawiyah yang juga
pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Bidang
Pemberdayaan Perempuan ini pun selalu menyempatkan untuk berkumpul dengan
keluarga. Ia pun selalu mendiskusikan hal-hal terkait pekerjaan, perkembangan
yayasan dengan anak-anaknya.
"Setiap
kumpul selalu diskusi, ngobrol. Kalau saat anak-anaknya kecil hanya ikut saja,
tidak dimintai pendapat, tapi saya merasakan setelah pulang dari London,
komentar dan pendapat saya cukup di dengar oleh mama, cukup berpengaruh. Yah,
70 persen kita kumpul kita ngomongin pesantren yatim, UIA, pasti kayak gitu. Kiprahnya
mama, hal aktual yang terjadi di masyarakat, baru 30 persen ngomongin
jalan-jalan, senang-senang, makan-makan. Sebulan sekali kita selalu makan di
luar, relaxe mama seperti
itu," jelas Syifa.
Sosok
pemimpin tegas ini pun ternyata hobi belanja seperti kebanyakan perempuan
lainnya. Diakui oleh Syifa, ketika berbelanja mama merasa terhibur dan senang.
Makan seafood pun menjadi makanan favoritnya meskipun hal itu dilarang.
Dan
hobinya adalah rapat dan berbincang dengan orang lain.
"Ibu
saya suka belanja, suka beli baju jadi rileksnya bawa dia shopping, suka
banget ke Thamrin City, metro. dia
sua makan seafood. Selalu murid-muridnya bawa kue,
tapi gak dimakan. Mama suka banget cumi, udang, yang sebenarnya gak boleh buat dia makan, mama tau kita banget, dia tidak suka
pindah restauran. kita kesana cuman ke satu dua tempat makan saja. Ibu saya tidak terlalu banyak rahasia, semua
orang tahu aslinya, dia bagaimana, hal-hal yang lain dia suka ngumpul,kalau dia
sendiri akhirannya dia panggil orang untuk rapat. hobinya rapat sepertinya,
kalau satu hari belumada ribuan kata kluar dari mulutnya sepertinya belum pas,
sakit kepala," kata Syifa mengenang.
Dari
sekian perjalanan hidup yang dilakukan oleh mubalig kondang dan Rektor
Universitas As Syafi'iyah ini, Syifa menjelaskan bahwa hampir semua cita-cita
dan harapan dari ibunya telah terlaksana dan membawa dampak yang positif bagi
lingkungan, bangsa dan negara.
"Yang
saya tahu hampir semua mimpi beliau terkabul. Diakhir hidupnya mama selalu
mendegungkan ilmu dan agama. Visi kedepannya membangun pendidikan berbasis
islam yang memadukan ilmu dan pendidikan, dia tunjukkan sebagai rektor UIA. sebagai rektor saya bisa membangun
pendidikan berbasis Islam, menyandingkan ilmu dan agama. mengaplikasikan ilmu
dan agama dalam kehidupan sehari-hari. berharap lulusan UIA juga terampil,
peduli dengan kaum dluafa," terangnya.
Bagi
Syifa sosok Tuty Alawiyah adalah sosok yang inspiratif, tidak
ada gantinya, dan tidak terganti oleh siapapun. Hal ini tidak hanya dia sebagai anak
rasakan tapi masyarakat luas pun menganggap demikian. Tidak ada yang seperti
Tuty Alawiyah, seorang ulama, pendidik, pernah
menjadi menteri, tokoh nasional internasional, sangat kental dengan
kebetawiannya, yang terus mendengungkan kiprah perempuan. Perempuan adalah
pilar bangsa.
Berfoto bersama Syifa Fauziah usia wawancara |
*Tulisan ini dibuat untuk keikutsertaan dalam lomba menulis ulama dan keulamaan perempuan 2016 yang diselenggarakan oleh Kongres Ulama Prempuan Indonesia (KUPI)
No comments:
Post a Comment