Tuesday 8 February 2011

Kekerasan Agama di Negeri Multikulturalistik

Kekerasan Agama di Negeri Multikulturalistik
Oleh Isna Wahyuningsih F
E04209034

Sekian banyak kekerasan yang terjadi di masyarakat, kekerasan atas nama agama, suku, dan budaya mempunyai intensitas yang paling besar. Karena di dalamnya sudah berkembang bentuk-bentuk kekerasan yang kompleks. Kekerasan Agama itu sangat Ironis, karena dalam agama banyak ajaran untuk menuju kepada kebaikan dan saling toleransi antara satu dengan yang lain.
Perbedaan dua pandagan itu merupakan implementasi dari praktis keagamaan yang terjadi di bumi Indonesia dengan multikulturalistiknya. Perbedaan ini sudah terjadi beberapa tahun dalam dilematisme konsep keagamaan yang cocok dengan keragaman bangsa ini. Banyak kelompok yang menawarkan keagamaan alternatif yang ditujukan agar pandangan yang mengatakan bahwa agama hanya mendatangkan kesengsaraan di dunia. Akan tetapi adanya akternatif tersebut, tidak membawa sebuah perubahan bagi bangsa yang multi agama, etnis, melainkan egoisme dan ekskusivme kelompok serta ajaran tertentu membuat dimensi kekerasan di tingkat SARA semakin meluas.
Pengeboman dan pembakaran Gereja di Poso dan Ambon, Pembakaran Gereja di Situbondo, beberapa tahun lalu merupakan bukti nyata pemahaman manusia terhadap agamanya masih menggunakan kacamata kuda yang hanya membenarkan proses keagamaannya sendiri dan menilai agama lain adalah salah.
Seperti inilah potret negeri kita, negeri yang terhimpun dari berbagai perbedaaan agama, suku, etnik budaya. Bangsa yang beragama nampaknya hanya sebuah tulisan, dalam praktek keagamaan toleransi yang terkandung dalam nilai-nilai agama tidak dipahami secara mendasar sehingga mengakibatkan banyaknya kekerasan, kerusuhan yang beratasnamakan agama. Tidak adanya rasa menghormati antara yang satu dengan lainnya.
Ketika sebuah Pluralitas agama diurus dengan baik, maka akan menjadi energi yang indah menjadikan Indonesia yang beradab. Sebaliknya, ketika pluralitas betul-betul salah urus, maka ia akan menjadi pematik yang dahsyat bagi kekerasan dan kehancuran total. Lantas bagaimana menanam Pluralisme agama di negeri ini agar tercipta sebuah kerukanan beragama. Pertama, memberikan ruang yang bebas bagi jaminan kebebasan beragama. Memberikan ruang gerak yang luas bagi agama minoritas seperti Kristen, Hindu, Budha, Konghuchu, selama mereka tidak keluar dari koridor ajaran serta aturan yang telah dibuat. Tidak mendiskriminasikan agama lain dalam mengekspresikan kebudayaan mereka.
Kedua. Bagi mereka yang bisa mengambil manfaat keagamaannya karena memang mengetahui apa yang harus dilakukan dengan ajaran agama mereka, mereka tidak kebingungan dalam realitas social keagamaan yang ada. Mereka tidak mempermasalahkan proses keagamaan lainnya dan menerima bentuk ajaran agama lain sebagai realitas keagamaan yang di anut oleh para pengikutnya masing-masing. Ritual keagamaan yang di jalankan masing-masing agama merupakan hal yang sama setiap agama yaitu menyerahkan diri kepada Tuhan. Karena itu bagaimanapun bentuk dan tatacara agama lain beribadah tujuannya hanyalah satu mendekatkan upenganutnya kepada Tuhan mereka.
Dalam pemikiran Gus Dur, tentang agama dan kemanusiaan. Orang yang dikatakan beragama yang baik kalau menjunjung tinggi derajat kemanusiaan. Dan kemanusiaan yang baik didasarkan pada keyakinan agama yang benar. Agama dan kemanusiaan seperti dua sisi mata uang yang berbeda tapi tidak bisa dipisahkan. Tidak boleh demi agama lantas melecehkan kemanusiaan dan demi kemanusiaan mengabaikan agama.
Keberagaman etnis, suku, agama tentunya tidak membuat negara semakin ruwet, akan tetapi dengan keberagaman membuat kita semakin satu apabila saling menghormati dan memberikan toleransi yang tinggi antar umat beragama. Fanatisme yang tidak berlebihan dan menerima keyakinan ajaran agama orang lain baik secara realitas dan teologis akan menciptakan sebuah negeri multikukturalistik yang harmonis.