Sunday 14 February 2016

Gedung Tzu Chi Indonesia

Mengenal Bangunan Tzu Chi Indonesia

         Ketika kita baru memasuki Kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Barat, mata kita akan langsung tertuju pada satu bangunan besar bernuansa Cina atau Tiongkok berwarna abu-abu.
          Yah, bangunan ini bernama Gedung Tzu Chi Indonesia. Arsitektur bangunan ini memang berbeda dari biasanya. Jarang ditemui di Indonesia khususnya Jakarta. Berada diujung Barat Kota Jakarta, ternyata ada bangunan semegah ini. Bangunan Tzu Chi ini sangat luas dan megah. Ketika kita berada di sana seperti berada di luar negeri.
         Saat itu hari libur, tidak ada aktivitas di sana, hanya terlihat beberapa pengunjung yang mengabadikan moment. Eits, jangan salah, bangunan Tzu Chi Budha Indonesia ini bukanlah tempat wisata atau bangunan bersejarah milik Indonesia, tapi bangunan ini digunakan untuk proses pembelajaran atau sekolah.
          Sekilas saya melihat, bangunan ini terdiri dari beberapa unit yaitu gedung utama, Gedung Kindergarten, Gedung Primary School, Secondary School, kemungkinan disebagian tempat lainnya juga ada gedung yang bertuliskan Junior dan Senior High School, sayangnya saat itu saya tidak melintasi keseluruhan gedung.
             Banyak yang berfoto dengan gedung megah ini, saya pun tergelitik untuk bertanya langsung dengan  penjaga setempat, meskipun googling tempat ini pun langusng muncul di internet.
          Saya pun menuju kantor satpam, di sana ada Bapak Ragil yang sedang bertugas. Menurut penjelasan   beliau, Gedung Tzu Chi ini didirikan di Jakarta sejak lima tahun lalu tepatnya tahun 2011 diresmikan langsung oleh Menteri Pendidikan Bapak M.Nuh.
           Gedung seluas 2,2 hektar ini setiap harinya digunakan untuk proses belajar mengajar. Menurut Ragil, siswa yang bersekolah di sini tidak hanya  diperuntukkan bagi warga non muslim, warga muslim pun bisa bersekolah di sini.
    Selain itu, tempat ini juga sering digunakan untuk kegiatan sosial dan kegamaan. masyarakat/instansi luar pun bisa berkunjung ke sini untuk melihat-lihat bangunan setiap hari Senin-Jumat pukul 09.00-15.00  WIB.
         Gedung Yayasan Budha Tzu Chi Indonesia ini pun dibangun atas donasi dari berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. Sebenarnya banyak pertanyaan yang saya ingin ketahuitentang bangunan Tzu Chi ini, namun Bapak Ragil enggan untuk memberitahu informasi lebih banyak, saya pun tidak diperbolehkan untuk masuk dan melihat ada ruang dan apa saja yang ada di dalam gedung Tzu Chi School.
Gedung Primary School tampak samping

Penampakan Gedung Primary School dari depan

Berikut sejarah tentang Tzu Chi School

Sejarah Tzu Chi

Pendiri Tzu Chi, Master Cheng Yen dilahirkan pada tanggal 14 Mei 1937 di Chingsui, Taiwan bagian tengah. Wafatnya sang ayah di tahun 1960 menjadikan beliau memahami bahwa hidup ini hanyalah sementara dan selalu berubah. Sejak saat itu beliau mulai mempelajari agama Buddha secara lebih serius sebelum akhirnya menjalani hidup sebagai bhiksuni pada tahun 1964.

Suatu hari di tahun 1966, Master Cheng Yen bersama beberapa pengikutnya datang ke suatu balai pengobatan di Fenglin untuk mengunjungi salah seorang umat yang menjalani operasi akibat pendarahan lambung. Ketika keluar dari kamar pasien, beliau melihat bercak darah di atas lantai tetapi tidak tampak adanya pasien. Dari informasi yang didapat diketahui bahwa darah tersebut milik seorang wanita penduduk asli asal Gunung Fengbin yang mengalami keguguran. Karena tidak mampu membayar NT$ 8.000 (sekitar Rp 2,4 juta), wanita tersebut tidak bisa berobat dan terpaksa harus dibawa pulang.

CATATAN:

Peristiwa bercak darah yang menimpa wanita pribumi bernama Chen Qiu Yin yang dikarenakan tidak mampu membayar NT$ 8,000 (Delapan ribu dollar) lantas tidak dapat berobat, apakah NT$ 8,000 itu adalah biaya pengobatan, uang jaminan atau uang muka? Setelah peristiwa itu, keterangan yang dikumpulkan dari beberapa pihak tidak seragam, berdasarkan salah seorang anggota keluarganya bernama Chen Wen Qian yang mengantar Chen Qiu Yin berobat pada saat itu pernah menuturkan secara terbuka kepada umum bahwa uang yang dimaksud itu adalah uang jaminan, kabar yang diperoleh Master juga sama yaitu uang jaminan, lagipula Li Man Mei, orang yang langsung berbicara dengan pasien dan pribumi lainnya di tempat peristiwa pada waktu itu (di tahun itu) telah beberapa kali menyelidiki dan mengemukakan hal serupa yaitu uang jaminan, namun pernah juga sekali dia hanya menyebutkan NT$ 8,000 dan tidak menyinggung uang jaminan. Dalam putusan kasus perdata, disimpulkan Li Man Mei menerangkan kepada Master bahwa karena pasien tidak mempunyai uang sebanyak NT$ 8,000 sehingga pergi meninggalkan Rumah Sakit merupakan suatu kenyataan, juga mengakui bukti bercak darah memang ada keberadaannya. Kasus ini diakhiri atas pilihan Tzu Chi untuk tidak mengajukan pengaduan naik banding.


Jauh di awal tahun 1970, sewaktu anggota komite Tzu Chi mengunjungi kaum fakir miskin di Fenglin, kendaraan yang mereka gunakan mengalami masalah, dengan spontan menggelorakan semangat (Bersatu-hati; Harmonis; Saling menyayangi; Bergotong-royong) untuk menegakkan teladan Bodhisattva dunia, sehingga bisa menjalankan apa yang sulit dilaksanakan bagi orang awam dan bisa sabar atas segala sesuatu yang sulit bagi orang awam.

Mendengar hal ini, perasaan Master Cheng Yen sangat terguncang. Seketika itu beliau memutuskan hendak berusaha mengumpulkan dana amal untuk menolong orang dan menyumbangkan semua kemampuan yang ada pada dirinya untuk menolong orang yang menderita sakit dan kemiskinan di Taiwan bagian timur.

Karena ada jalinan jodoh, di saat itu kebetulan sekali tiga orang suster Katolik dari Sekolah Menengah Hualien datang berkunjung untuk menemui Master Cheng Yen. Suster bertanya, "Agama Katolik kami telah membangun rumah sakit, mendirikan sekolah, dan mengelola panti jompo untuk membagi kasih sayang kepada semua umat manusia, walaupun Buddha juga menyebut menolong dunia dengan welas asih, tetapi mohon tanya, agama Buddha mempersembahkan apa untuk masyarakat?" Kata-kata ini sangat menyentuh hati Master Cheng Yen. Sebenarnya waktu itu umat Buddha juga menjalankan kebajikan dan beramal, namun tanpa mementingkan namanya. Dari situ membuktikan bahwa semua umat Buddha memiliki rasa cinta kasih yang dalam, hanya saja terpencar dan kurang koordinasi serta kurang terkelola. Master Cheng Yen bertekad untuk menghimpun potensi ini dengan diawali dari mengulurkan tangan mendahulukan bantuan kemanusiaan. 

Cikal Bakal Tzu Chi Dimulai dari Celengan Bambu
Kegiatan kemanusiaan Tzu Chi untuk kaum fakir miskin diawali dari 6 ibu rumah tangga yang setiap hari, masing-masing individu, merajut sepasang sepatu bayi. Di samping itu, setiap anggota diberi sebuah celengan bambu oleh Master Cheng Yen, agar para ibu rumah tangga setiap pagi sebelum pergi berbelanja ke pasar, menghemat dan menabung 50 sen ke dalam celengan bambu. Dari 30 anggota bisa terkumpul 450 dolar setiap bulan, ditambah hasil pembuatan sepatu bayi 720 dolar, maka setiap bulan bisa terkumpul sebanyak 1.170 dolar sebagai dana bantuan untuk kaum fakir miskin.

Kabar ini dengan cepat tersebar luas ke berbagai tempat di Hualien, dan orang yang ingin turut bergabung semakin banyak. Pada tanggal 14 Mei 1966, Yayasan Kemanusiaan Buddha Tzu Chi secara resmi terbentuk.

Pada awal masa pembentukan Yayasan Kemanusiaan Buddha Tzu Chi, Master Cheng Yen bersama para pengikut mengambil tempat sempit yang tidak lebih dari 20 m2 di Vihara Pu Ming, sambil berupaya menghasilkan produk untuk mendukung kehidupan, sambil mengurus jalannya organisasi. Pada musim gugur tahun 1967, ibunda Master Cheng Yen membelikannya sebidang tanah yang sekarang dimanfaatkan untuk bangunan Griya Perenungan. Walaupun demikian, Master Cheng Yen beserta para pengikut masih tetap mempertahankan prinsip hidup mandiri. Biaya perluasan seluruh proyek Griya Perenungan, selain mengandalkan pinjaman uang dari bank atas dasar hipotik hak kepemilikan tanah tersebut, juga dari hasil usaha kerajinan tangan. Sampai kini pun, Master Cheng Yen dan para pengikutnya tetap hidup mandiri dengan bercocok tanam ataupun menjalankan industri rumah tangga. Mereka tidak mau menerima sumbangan. (Sumber: http://www.tzuchi.or.id/tentang-kami)




Jakarta, 14 Februari 2016
Catatan Perjalanan
@kireizna

Wisata Mangrove Di Ujung Utara Jakarta

Pantai Indah Kapuk
Wisata Alam Mangrove Di Kota Jakarta

Ibukota Jakarta memang terkenal dengan polusi, bangunan tinggi, panas dan juga macetnya. Jakarta pun bukan tempat yang asyik, nyaman dan untuk berlibur, karena dengan segala kemacetannya, berlibur di Jakarta sama saja dengan bunuh diri alias kita tidak akan menikmati liburan kita, yang ada hanyalah rasa lelah dan pusing saking banyaknya orang dan kendaraan. Tempat wisata Jakarta tidak lebih bangunan di tengah kota yang padat, ramai dan panas. Seperti Monas, TMII, Ancol, Kota Tua. 

Di tengah polusi dan macetnya Jakarta, ada loh tempat yang hijau, udaranya segar untuk dikunjungi. Meskipun sedikit panas, cukuplah untuk memanjakan mata kita dengan tanaman hijau, bukan lagi bangunan-bangunan tinggi dengan beton-betonnya. Wisata Mangrove Pantai Indah Kapuk (PIK), tempat ini yang aku maksud. Sebenarnya PIK adalah daerah perumahan di kawasan Jakarta Utara. Konsep Hutan Mangrove (PIK) di Jakarta sebenarnya tidak jauh dengan Mangrove yang ada di Surabaya. Taman dengan dikelilingi pohon bakau, wisata perahu dan dermaga-dermaga atau jembatan yang terbuat dari kayu.

Untuk menuju lokasi Wisata Mangrove PIK, kita tidak perlu bersusah payah. Karena saya berangkat dari Jakarta pusat, maka rute yang anda ambil menggunakan mobil ataupun motor yaitu dari Salemba menuju ke utara Pasar Senen, melewati hamroni, lurus saja sampai Roxy Mall tempat jual elektronik terbesar di Jakarta. Kemudian melewati Citraland ambil ke arah Tanggerang datau dan mogot. Kita juga akan melewati stasiun TV Indosiar. Dari sana lurus saja. anda akan menemukan plakat petunjuk jalan menuju PIK.

Hutan Mangrove Pantai Indah Kapuk/@kireizna