Wednesday 14 August 2019

Perjalanan Menjadi Seorang Ibu! (Part 1)

*Kehidupan Setelah Menikah*

Beberapa tulisan kedepan, aku mencoba menceritakan semua pengalamanku saat hamil anak pertama. Aku ingin kelak, jika dunia digital ini menjadi 'Raja' di kehidupan manusia, dan anakku sudah bisa membaca, ia akan menemukan kisah perjalanan ibunya.

Setelah menikah, aku dan suami sepakat tidak akan menunda kehamilan. Dari segi usia kami berdua sudah cukup matang untuk memperoleh keturunan, maklumah kami menikah juga di usia 29 tahun. Sejak pacaran pun kami merencakana, jika nanti kami sudah menikah, kami sepakat tidak menunda untuk mempunyai anak.

Menjadi sepasang suami istri, kami menjalani kehidupan yang bahagia setelah dipisahkan jarak kurang lebih 3 tahun selama kami berpacaran. Menjadi satu, membuka dan menutup mata melihatnya disampingku, makan bersama, dan setiap hari melihat wajahnya memberikan kebahagiaan yang luar biasa meskipun kami sempat menjalani LDM (Long Distance Marriage) kurang lebih 1,5 bulan. Aku di Jakarta dan suami di Surabaya. Tuhan memberikan kemudahan bagi kehidupan kami, setelah menikah Alhamdulilah suami segera mendapatkan pekerjaan ketika dia memutuskan untuk berjuang bersama-sama di Ibu Kota.

Bertolak dari sekotak kamar kecil yang nyaman, asri yang sudah aku tempati bertahun-tahun di daerah Rawasari, Cempaka Putih. Akhirnya aku meninggalkan kos-kosan yang homey sekali untuk tinggal bersama suami, tentunya kita masih jadi kontraktor alisa kontrak sana kontrak sini, belum cukup rejeki kami harus membeli rumah di Jakarta atau sekitarnya. Mencari informasi rumah kontrakan sana sini, akhirnya kami menemukan tempat yang strategis, nyaman untuk kami sewa, tepatnya di daerah Utan Kayu Selatan, Jakarta Timur, tidak jauh dari kosan aku sebelumnya, meskipun jarak dari kantorku dan kantor suami lumayan jauh, kami memutuskan untuk menyewa rumah petak dua lantai tersebut, yang sekarang kami tinggali kurang lebih 8 bulan.

Foto saat kondangan di pernikahan salah satu teman.

Sebelum menikah, aku terus memikirkan bagaimana kehidupan dan tanggungjawabku sebagai seorang istri dan perempuan karir. Aku terlahir sebagai perempuan pekerja, sedari SMA segala pekerjaan sudah pernah saya coba, dari  menjadi guru ngaji, guru private, penjaga warnet, penjaga kasir, guru pramuka, wartawan hingga sekarang aku pekerja di salah satu Kementerian di Jakarta. Selain itu, aku juga aktif di organisasi kemasyarakatan. Sebelum dan setelah menikah, aku selalu khawatir apa aku bisa menjadi istri soleha yang bisa menyeimbangkan kewajibanku di wilayah domestik dan publik. 

Di wilayah domestik jujur aku mempunyai kelemahan yang lumayan fatal, yaitu tidak bisa memasak. Aku belajar memasak ketika merantau di Jakarta tepatnya tahun 2014, saya baru bisa belajar memasak dengan rice cooker, hanya bisa mengoreng telor, ayam, dan mie rebus, thats it'. Skill memasakku memang sangat payah, sering kali aku berfikir, setelah menikah masakan apa yang akan aku buatkan untuk suamiku, meskipun suamiku tidak pernah meminta aneh-aneh dan dia selalu menerima aku apadanya, sebelum menikah dia pun faham aku tidak bisa memasak. Namun, keahlian lain diwilayah domestik, seperti nyuci, setrika, mengurus rumah aku jagonya, tidak ada yang tidak tertata rapi, jadi jangan diragukan.hehe.

Membayangkan perempuan pekerja, yang aktif di organisasi dan sukses di wilayah domestik sepertinya sangat mudah, namun ternyata bayanganku salah. Jika ada perempuan karir yang sangat sukses namun kehidupan rumah tangganya kandas, saya sangat memahami hal ini, karena dia tidak bisa berlaku adil terhadap 2 tanggungjawab tersebut. Bagiku, aku menjalaninya memang cukup berat. Sisi lain, ego kita ingin terus bekerja, membantu suami mencukupi kebutuhan sehari-hari, melakukan pekerjaan rumah tangga dari memasak seadanya, mencuci pakaian, membersihkan, ternyata setelah kita menjalaninya tidak semudah teori-teori yang kita pelajari.


Diawal kehidupan menikah aku sering sekali sakit, gejalanya selalu sama terlalu kelelahan. Pagi hingga malam harus bekerja, sesampai di rumah bekerjaan rumah tangga masih menunggu, harus mencuci, setrika dll. Yah, dizaman serba ada seperti sekarang memang mudah kita bisa membawa ke laundry, dan membeli makanan di warung, rumah makan bisa dengan ojek online. Namun, bagi kami yang hanya pekerja honorer harus pintar-pintar membagi income dan outcome sehingga masih ada tabungan yang simpan untuk masa depan. Yah, kehidupan di awal menikah memang banyak hal yang menghawatirkan pikiran dan juga kebahagiaan yang luar biasa. Tuhan memberikanku seorang laki-laki yang begitu sabar, tidak pernah marah, tidak pernah meminta dan memaksa ini itu, semuanya serba istimewa meskipun laki-laki ini sedikit cuek dan tidak perhatian. Kami pun saling mengisi dan menerima kekurangan satu sama lain.