Thursday 22 December 2016

Fatwamati, Ibu Kami

Fatwamati,
Ibu Kami,

Fatmawati, mendengar namanya pasti semua orang akan tahu siapa dia. Perempuan dibalik perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Perempuan yang menemani Sang Proklamator Bung Karno merebut Kemerdekaan. Perannya tidak hanya sebatas menjahit bendera pusaka. Perempuan yang ikut berperang, bergerilya  terlibat secara aktif dalam perjuangan membela nusa dan bangsanya, serta rela menempuh kehidupan seorang diri demi mempertahankan sebuah prinsip dan harga diri seorang ibu.

Fatmawati, sosok pahlawan perempuan yang dikenal semua orang Indonesia. Jasanya tidak akan pernah dilupakan. Sosok Fatmawati yang akan aku ceritakan kali ini tidak kalah hebatnya dengan Fatmawati yang dimiliki Bangsa Indonesia. Yah, She is my mother, my hero.

Pernah aku bertanya kepada Almarhum Nenekku, kenapa dia memberikan nama Fatmawati kepada anaknya, singkat Nenekku menjawab, di zaman kemerdekaan Nama Fatmawati adalah nama yang populer, tidak ada arti khusus, hanya mudah diingat, dipilihlan nama Fatmawati untuk anak ketiganya. Ibuku, Fatmawati.

Jika di zaman penjajahan perjuangan Ibu Fatmawati bisa dikatakan "Sepi Ing Pamrih" Ketulusan pengabdiannya kepada suami dan bangsa Indonesia tidak bisa dinilai harganya. Bagiku, Ibuku, Fatmawati perjuangannya pun demikian.

Beliau terlahir dari keluarga yang sederhana, bisa dikatakan keluarga biasa dan serba berkecukupan. Ayahnya seorang petani biasa, dan ibunya seorang penjual tempe keliling. Namun demikian, dari ketujuh saudaranya, ibukulah satu-satunya yang mendapatkan pendidikan hingga jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan skill yang dimilikinya pun berbeda dengan saudara-saudara lainnya, dia lebih unggul.


Ibuku, Fatmawati, beliau selalu bercerita bahwa dikehidupan remajanya dulu tidaklah mudah. Ia harus bekerja, belajar dan juga harus mengurusi adik-adiknya. Orangtuanya, Kakek Nenekku buta huruf, tidak bisa membaca, dua kakaknya enggan untuk bersekolah. Tapi ibuku selalu menuntut dan berusaha agar bisa bersekolah. Ikutlah dia bekerja bersama pamannya yang juga menjadi pedagang tempe keliling. Uang hasil membantu pamannya ia gunakan untuk membayar sekolah hingga SMK.

Saat duduk dibangku SMK, ibuku mengambil jurusan Tata Busana. Ia terampil dalam hal menjahit, aku tidak tahu apa memang sosok Fatmawati menginspirasi dirinya untuk menjadi menjahit yang jelas hingga saat ini ibuku berprofesi sebagai penjahit. Saat remaja, menikah dan melahirkan dua orang anak aku dan kakakku, Ibuku menjadi guru kelas jahit di Departemen Agama Sidoarjo hampir 20 tahun lamanya. Pagi hari ia memasak, menyiapkan keperluan suami dan anaknya. Siang hingga sore hari ia mengajar kelas jahit menggunakan sepeda onthel yang saat ini masih ia gunakan untuk pergi-pergi di rumah. Dan ketika malam hari ia masih memberikan kursus menjahit di rumah dan juga mengerjakan baju pesanan beberapa orang.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana ibuku dulu ketika aku masi kecil banyak sekali remaja, ibu-ibu muda datang ke rumah untuk belajar menjahit baju, dari Ba'da Magrib Hingga pukul 20.00, terkadang murid-muridnya juga datang pagi-sore-malam hari tidak ada batasan waktu mengajar, dan juga tidak ada batasan sampai kapan kursus berakhir. Ibuku menggunakan sistem sampai bisa, satu kali membayar tunai atau berangsur mereka bisa mendapatkan ilmu seumur hidup alias sampai mahir menjahit. Dan dengan sistem ini hampir murid-murid ibuku ada yang sampai bertahun-tahun, ada pula yang cepat tanggap, cukup beberapa bulan belajar sudah mahir, dan ketika ada kesulitan ia datang ke rumah. Sejauh ini tidak terhitung berapa jumlah perempuan yang belajar menjahit dengan ibuku. Dia memang bukan Guru pelajaran Formal di Sekolah, Tapi Bagiku, Dia adalah Guru Keterampilan yang telah melahirkan penjahit-penjahit profesional.

Bunyi mesin jahit, dan suara gunting tidak asing bagiku. Suara-suara itu terdengar setiap hari dari pagi hingga malam. Ketika kami kecil, aku dan kakakku, Ibuku bekerja siang dan malam tanpa lelah untuk mencukupi kehidupan keluarga membantu suaminya, ayahku. Ia terlahir sebagai perempuan pekerja keras. Ibuku, Fatmawati.

Dengan bekerja siang dan malam mencari nafkah, Ibuku tidak pernah lalai mengurus anaknya. Ia sangat disiplin terutama dalam urusan pendidikan agama. Sedari kecil anak-anaknya di sekolahkan di sekolah berbasis agama, tidak lupa juga untuk belajar mengaji. Aku dan kakakku sejak kecil hingga dewasa dituntuk orangtua untuk terus mengaji, dan Alhamdulilah berkat didikan yang keras tersebut aku, kakakku, dan adikku yang paling kecil tidak tertinggal dalam pelajaran baik formal maupun agama, bahkan anak-anak ibuk masing-masing mempunyai prestasi di sekolah maupun di lingkungan.

Menyadari bahwa dirinya (Ibuku) bukanlah orangtua yang pandai dibidang akademik maupun dalam hal pengetahuan agama. Namun, mereka tidak ingin anak-anaknya bernasib sama. Karena itu mereka berjuang bekerja keras agar ketiga anaknya bisa menempuh pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Terimakasih ibuk, ayah, sejauh ini aku bisa bersekolah, lulus sarjana strata satu dan kini berkat doamu jenjang stara dua sedang aku tempuh. Kakakku yang lebih mandiri pun telah menyelesaikan sarjana strata satunya. Si kecil pun meskipun sedikit pemalu dibanding kedua kakaknya, prestasi dibidang akademiknya pun tidak kalah dengan kakaknya.

Ada sebuah ungkapan "Biarkan Saya jadi akar rumput yang terpenting anak saya bisa menjadi akar Jati" inilah yang dilakukan ibuku, Fatmawati. Dibalik keterbatasan pendidikan yang ia miliki, ia ingin anak-anaknya bisa lebih dan lebih darinya.

Ibuku,
Fatmawati,
Terimaksih atas perjuangan dan didikanmu selama ini. Sekarang anak-anakmu sudah dewasa, waktunya kami yang berjuang untuk membahagiakanmu. Tak perlu kau pikirkan materi lagi, biarkan kami yang mencari, waktumu kini beristirahat dan berbahagia dengan hal-hal kecil yang diberikan oleh anak-anakmu kepadamu. Doa dan restu darimu mempermudahkan langkah sukses kami mencapai cita-cita kami.

SELAMAT HARI IBU
JAKARTA, 22 DESEMBER 2016
Potret Keluarga Sederhana Kami


No comments:

Post a Comment