Perubahan Tentang
Kebijakan
Pengiriman TKI Ke Timur Tengah
Banyaknya
permasalahan yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri
khususnya Negara Timur Tengah. Kementerian Ketenagakerjaan RI membuat aturan
perubahan tentang penghentian dan pelarangan penempatan tenaga kerja Indonesia
pada pengguna perseorangan di negara kawasan Timur Tengah. Hal ini tercantum
pada aturan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 atas perubahan
atau moratorium dari keputusan menteri ketenagakerjaan nomor 221 tahun 2015
tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada
pengguna perseorangan di 19 negara kawasan Timur tengah yaitu Arab Saudi,
Aljazair, Bahrain, Irak, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir,
Oman, Palestina, Qatar, Sudan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, Yaman dan
Yordania.
Perubahan kebijakan
pengiriman TKI di Timur tengah ini dipengaruhi oleh dua faktor internal dan
eksternal. Faktor internal yaitu segala faktor yang ada di dalam
organisasi atau institusi itu sendiri. Dalam kasus TKI Indonesia intitusi yang
berwenang ada dua pihak, pemerintah dan pihak swasta. Pihak pemerintah adalah
Kementerian Ketenagakerjaan,dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia (BNP2TKI), pihak swasta yakin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta (PPTKIS).
Kementerian tenaga
kerja sebagai institusi pemerintah yang menjalankan tugasnya sebagai perumus kebijakan
tentang perlindungan tenaga kerja Indonesia, serta BNP2TKI sebagai pelaksanaan kebijakan di
bidang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri yang saling terkordinasi dan terintegrasi.
Sedangkan, dipihak swasta yaitu PPTKIS bertugas sebagai penyedia jasa pelayanan
dan pengiriman tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Sejauh ini tercatat ada
sebanyak 289 PPTKIS resmi yang terdaftar di Kementerian Ketenagakerjaan.
Faktor
internal yang mengharuskan adanya Peraturan Menteri Nomor 220 Tahun 2015 tentang
penghentian dan pengiriman TKI di Timur
Tengah adalah masih banyaknya PPTKIS yang unprocedural dalam pengiriman
TKI. Pada bulan November 2016, ada sebanyak 289 PPTKIS yang mengajukan draft
perpanjangan SIPPTKI. Setelah melakukan evaluasi terhadap PPTKIS berdasarkan
laporan masyarakat, instansi terkait menyebabkan beberapa PPTKIS dijatuhi
sanksi administratif baik berupa penghentian kegiatan sementara (skorsing) dan
pencabutan SIPPTKI. Dari 289 PPTKIS tersbut, ada 4 dijatuhi sanksi skorsing
(kasus penempatan TKI unprocedural ke Riyadh) dan 2 dijatuhi sanksi
pencabutan SIPPTKI karena kasus menempatan TKI pada pengguna perseorangan di
Jeddah.
Banyaknya
PPTKIS yang mengirimkan TKI secara illegal atau unprocedure berakibat
pada jaminaan keselamatan TKI itu sendiri. Pengiriman TKI unprocedural
dilakukan oleh PPTKIS yang mengirimkan tenaga kerja domestic dan unskill.
Akibatnya, banyak kasus penganiayaan, tidak berupah, bahkan TKI Indonesia
menerima sanksi hukuman mati seperti kasus yang dialami oleh Siti Zaenab dan
Karni Tarsim yang akhirnya dieksekusi mati oleh otoritas Arab Saudi.
Kedua,
faktor eksternal yaitu keseluruhan faktor yang ada di luar organisasi
yang dapat mempengaruhi organisasi atau kegiatan organisasi. Beberapa faktor eksternal
tersebut antara lain politik, hukum, kebudayaan, teknologi, sumber alam dan
sebagaimnya. Penyebab berasal dari luar lingkungan dan organisasi bersifat responsive
terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Dari
adanya perubahan yang terjadi di dalam pengiriman dan penempatan tenaga kerja
Indonesia, faktor luar yang mempengaruhi adalah bagaimana keadilan atau hukum
yang berlaku di daerah Timur Tengah. Jika kita melihat kasus yang dialami oleh
Siti Zaenab TKI asal Bangkalan yang dieksekusi mati atas perkara pembunuhan
terhadap majikan perempuannya yang terjadi tahun 2015 lalu.
Kronologinya,
Zaenab mengatakan tidak kerasan bekerja di Arab
Saudi dan ingin pulang pada Hari Raya Idul Fitri pada 1998 karena sering
dianiaya oleh majikannya.
Lantas terjadilah naas tersebut, saat hendak
salat Subuh, dia memasak air di dapur. Lalu, majikan perempuannya memukul
kepala, menjambak dan mencekik lehernya. Kemudian, dalam keadaan kesusahan dan
kesakitan, Siti mencari pisau dan menusuk perut majikannya.
Siti Zaenab kemudian
ditahan di Penjara Umum Madinah sejak 5 Oktober 1999. Setelah melalui rangkaian
proses huku. Pengadilan Madinah menjatuhkan vonis hukuman mati qisas kepada
Siti Zaenab. Dengan jatuhnya keputusan qisas tersebut maka pemaafan hanya bisa
diberikan oleh ahli waris korban. Namun, pelaksanaan hukuman mati tersebut
ditunda untuk menunggu Walid bin Abdullah bin Muhsin Al Ahmadi, putra bungsu
korban, mencapai usia akil baligh.
Pada 2013, setelah
dinyatakan akil baligh, Walid bin Abdullah telah menyampaikan kepada Pengadilan
perihal penolakannya untuk memberikan pemaafan kepada Siti Zaenab dan tetap
menuntut pelaksanaan hukuman mati. Hal ini kemudian dicatat dalam keputusan
pengadilan pada tahun 2013. Perlindungan WNI di luar negeri, termasuk WNI yang
menghadapi masalah hukum, merupakan prioritas Pemerintah Indonesia. Dari sejak
awal, pemerintah telah berjuang untuk mendampingi Zaenab dan memohonkan pengampunan dari
keluarga.
Adapun dalam langkah
diplomatik, tiga Presiden Indonesia, yakni mendiang Abdurrahman Wahid (2000),
SBY (2011), dan Joko Widodo (2015) telah mengirimkan surat resmi kepada Raja
Saudi. Surat itu berisi permohonan agar Raja Arab Saudi memberi pemaafan kepada
WNI. Tetapi, hasilnya pun nihil. Upaya terakhir pemerintah Indonesia dengan
kunjungan pada 24-25 Maret 2015. Pemerintah Indonesia menawarkan pembayaran
diyat atau uang darah melalui Lembaga Pemaafan Madinah sebesar 600 ribu riyal
Arab Saudi atau sekitar Rp 2 miliar. Namun, tawaran tersebut tetap ditolak oleh
ahli waris korban. Tidak ada pemaafan dari ahli waris sehingga eksekusi mati
diberikan kepada Zaenab.
Sejak Januari 2015
hingga saat ini, pemerintah Arab Saudi telah menghukum mati 59 orang, dengan 35
orang di antaranya merupakan warga Arab Saudi dan 25 orang lainnya merupakan
warga negara asing. Hukuman mati dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana
pembunuhan dan narkoba.
Hukum qisas masih
berlaku di negara Timur Tengah khususnya Arab Saudi. Hukum Qisas dalam hukum
islam yang berarti pembalasan (memberi hukuman yang setimpal), mirip dengan
istilah "hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan, hukum
qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada
pembunuh.
Hukuman mati yang
menimpa Siti Zaenab menjadi pukulan bagi pemerintah Indonesia, dimana posisi hukum
Indonesia sangant lemah dalam melindungi dan mempertahankan hak dan status
warga negaranya. Oleh karena itu, keputusan untuk menghentikan dan melarang
penempatan dan pengiriman TKI di Timur Tengah secara perseorangan adalah
perubahan yang transformational untuk meminimalisir kasus ketidakadilan yang
diterima oleh TKI Indonesia di Timur Tengah.