Wednesday, 28 July 2021

Stigma Masyarakat Desa Tentang Penyintas Covid 19

Mengembalikan kepercayaan diri kepada orangtua khususnya Ibu Saya ternyata cukup lama pasca sembuh covid 19 awal bulan Juli lalu.

Stigma masyarakat desa dengan orang yang terpapar covid 19 cenderung mengucilkan bukan memberi bantuan atau dukungan.

Saya ingat betul ketika kami sekeluarga terpapar, kami memutuskan tidak menutupi penyakit ini, dan sebagian orang/tetangga bahkan salah satu perangkat Desa pun tahu kami terpapar Covid-19, dan kebetulan rumah kami selisih 1 rumah dengan kantor balai desa. Rumor kami terpapar khususnya orangtua kami di RS pun sudah menjadi pembicaraan tetangga dan kerabat.

Dikondisi yang begitu sulit tersebut, saya yang sudah terkonfirm positif hanya tinggal di rumah, di lantai atas dengan segala keterbatasan, adik dan kakak saya yang terkonfirm negatif masih bisa pergi untuk menjenguk orangtua di RS dan membelikan makanan.

Hampir satu minggu adik kakak bergantian menyiapkan kebutuhan kami, dengan prokes ketat, tidak berinteraksi dengan orang-orang, bahkan ketika membeli sesuatu tangan berkali-kali menggunakan handsintizer, kami menjaga betul tidak menularkan ke orang lain.

Ternyata, setelah beberapa hari menyiapkan kebutuhan makanan, obat-obatan, semua yang bisa menambah imun, membersihkan rumah, "wira-wiri" kondisi adik mulai drop dan menyusul saya isoman, dari tanda-tanda yang dialami   demam, pusing, nyeri sendi hingga sempat anosmia. Adik menyusul isoman dengan saya.
Foto : Google Istimewa


Saat-saat seperti itu memang kita tidak berharap orang lain atau keluarga membantu kami, saya memahami kondisi seperti covid 19 orang-orang menjaga dirinya sendiri untuk tidak tertular. Kami memaklumi jika mereka semua menjauh, bahkan perhatian dari desa pun tidak ada, sehingga saya mencari jalan sendiri menanggani keluarga kami dari urusan rumah sakit, menyiapkan kebutuhan kami yang isoman hingga penyemprotan disinfektan rumah kami.

Setelah hari-hari penuh perjuangan, setelah dokter memperbolehkan orangtua kami pulang dengan hasil PCR negatif di hari ke 10,  kami tetap isoman, masker sekeluarga dari bangun tidur hingga tidur kita pakai, melepas saat makan saja itu pun harus bergantian di dapur agar tidak berkerumun di dalam rumah, Maklum rumah kami tidak terlalu luas, dan menjaga jarak kami di rumah agar sementara tidak terlalu dekat.

Kami sekeluarga isoman hampir 4 minggu, meskipun sudah dinyatakan Negatif semua kami masih menjaga untuk tidak terlalu berinteraksi dengan orang lain. Kami faham mungkin mereka takut. Diawal kepulangan orang tua kami, kami memang melarang beberapa orang untuk menjenguk kedua orangtua kami.

Namun hampir setelah 1 bulan berlalu, stigma menakutkan bagi penyintas covid 19 di masyarakat desa ternyata masih kental. Selama ini ibu kami masih dalam pemulihan, tubuhnya berbeda dengan sebelumnya, cepat lelah, terasa lemas, dan memang covid19 membuat berat badan ortu kami khususnya ibu turun drastis. Tapi kami tetap syukuri, dengan beliau sehat kami sudah sangat senang apapun orng lain katakan.

Dimasa yg cukup lama tersebut kami sekeluarga sudah sehat total. Tapi bagi ibu saya, saya melihat dia enggan untuk keluar rumah dan berinteraksi dengan tetangga bahkan untuk berbelanja di sekitar rumah. Saya melihat orang-orang disekitar saya /tetangga ternyata mereka juga masih takut berinteraksi dengan kami sekeluarga. Yang biasa menyapa diam seakan tidak ingin kami berinteraksi dengan mereka. Bahkan ibu saya pernah bercerita ketika beliau sedang membeli sesuatu ada tiba-tiba seseorang menghindar dan acuh sekali. Mungkin beliau takut tertular atau apalah. Ibuku akhirnya insecure terhadap dirinya sendiri.

Butuh waktu lama meyakinkan ibu saya bahwa penyakit ini bukan Aib, tidak perlu minder karena kami sekeluarga sudah sehat, Ibu bisa berjalan jalan lagi, belanja lagi hanya cukup mengurangi kerumunan dan terus memakai masker. Kami meyakinkan tidak perlu mendengarkan atau memikirkan sikap orang kepada kita. 

Akhir-akhir ini pun lingkungan rumah banyak berita duka dan benar-benar tidak menyangka orang tersebut harus pergi meninggalkan dunia ini lebih dulu dari mereka usia masih muda hingga tua. Ada kabar beberapa dari mereka positif covid 19.

Dari kabar duka tersebut, untuk memicu semangat ibu kami akhirnya kami memberitahu bahwa ibu harusnya bersyukur tidak perlu malu pernah masuk isolasi rumah sakit karena covid 19, penyakit ini tidak pandang bulu saat ini, penularannya cepat sekali siapapun bisa tertular. Kemarin sehat bisa jadi tertular kondisi drop dan tidak ada umur panjang, bahkan mencari rumah sakit sekarang susah.

Kami meyakinkan ibu kami untuk bersyukur, Ibu dan bapak bisa sehat melawan virus ini, Ibu beruntung bisa mendapat penanganan yang cepat di RS, Ibu harus bersyukur diberi umur panjang. Sejauh kita tetap menjalankan prokes biarlah orang lain menjauh toh yang mengerti pasti bangga ibu bisa sehat dan melawan virus ini.

Inilah yang kami rasakan sebagai penyintas covid 19 yang hidup ditengah-tengah masyarakat desa. Masyaraat yang kadang tidak percaya dengan virus ini, tapi ketika berhadapan dengan orang terdekat yang terkonfirm positif mereka pun menjauh. Kami berharap edukasi terkait Covid 19 bisa terus di sosialisasikan di masyarakat oleh semua pihak.

Catatan : Tidak ada riset khusus tulisan ini saya buat. Hanya berbagi pengalaman dan semoga bisa bermanfaat. Ambil baiknya dari tulisan ini. Terimakasih.

1 comment:

  1. iya, di masyarakat kita c19 masih aib, dan itu susah dihilangkan.

    ReplyDelete