Monday, 25 June 2018

Tana Toraja, Warisan Tradisi Yang Tak Pernah Mati



Perjalanan ke Tana Toraja tak sekadar berkunjung ke berbagai wisata, tapi perjalanan ke Tana Toraja kita akan menyelami berbagai tradisi yang dari dulu hingga sekarang masih dilestarikan dan dipegang teguh oleh masyarakat lokal.

Dipenghujung bulan Juni 2018 pasca liburan Idul Fitri selesai tepatnya 20-23 Juni 2018, Tuhan memberikan kesempatan untuk menapaki Tana Toraja yang dulu ketika kecil saya hanya bisa berkunjung dan membangun rumah di gambar permainan Monopoli Edisi Nusantara Indonesia.

Selama empat hari tiga malam perjalanan saya lakukan dengan 2 rekan kerja. Ke Tana Toraja dengan waktu 4 hari hanyalah sangat singkat, karena dari Surabaya atau Jakarta kita akan melewati 2 jalur darat dan udara. Jalur darat dari Bandara Juanda menuju Bandara Sultan Hasanudin Makasar kita tempuh waktu selama kurang lebih 1 jam 10 menit. Waktu itu saya memilih penerbangan bagi pukul 05.00 WIB tiba di Makasar pukul 07.55 WITA, kenapa pagi sekali karena kita harus mengejar bus travel ke Toraja yang hanya 2 kali pagi dan sore hari.

Sesampai di Bandara Sultan Hasanudin tepat pukul 08.00 WITA, ada saudara teman yang sudah menunggu kedatangan kami, dan kemudian membawa kami ke Meeting Point tempat penjemputan Bus tepat pukul 09.00 WITA. Setelah perjalanan udara, dari Makasar menuju Toraja kami tempuh menggunakan Bus Travel Berlindo dengan tarif Rp.200.000/orang, mungkin terlihat mahal, tapi dengan kualitas bus yang bisa kita gunakan tidur, selonjoran, kursi empuk seperti kasur, lengkap dengan selimut dan bantal menurutku sudah lumayan murah, karena selama 8 jam kita harus memilih armada yang bagus, dan jalan menuju toraja berkelok-kelok, maklumlah daerah dataran tinggi.

Kebetulan banget dapat tempat duduk di depan bus

Selama 8 jam perjalanan tidak ada lagi yang dilakukan kecuali tidur dan makan (Hahaha). Sebenarnya kita bisa lebih menikmati perjalanan darat ini karena disepanjang jalan kita akan disajikan dengan hamparan pegunungan dan lautan, dikarenakan saya suka mabok jika naik bus dengan waktu yang cukup lama, daripada melihat jalanan yang berliku-liku kemudian pusing dan mual, saya lebih memilih untuk tidur. Dalam 8 jam perjalanan bus yang kami tumpangi berhenti 2 kali, pertama siang hari sekitar pukul 1 siang berhenti untuk makan dan ibadah. Pemberhentian kedua membeli oleh-oleh. Sebenarnya bus ini berhenti beberapa kali sebentar karena harus menurunkan dan menaikkan penumpang, namanya juga angkutan umum, jadi lebih enak memang menggunakan kendaraan pribadi.

Tiba di Tana Toraja sekitar pukul 20.00 WITA, sodara teman kami sudah menunggu di Gereja Besar tempat menurunkan kami bertiga. Setelah itu kami mencari makan terlebih dahulu sebelum menuju penginapan. Masyarakat Toraja mayoritas beragama kristen, jadi ketika kita sampai di sini kita akan banyak menemukan gereja-gereja serta makanan babi. Bagi kami umat muslim berkunjung ke tanah toraja memang agak sedikit was-was dan kesulitan mencari makanan yang pas, tapi jangan takut ada beberapa warung yang menyediakan makanan Halal kita bisa mencari warung tersebut dengan tagline "Warung Umum" "Ada Masakan Umum" "Bakso Umum", kata "Umum" di sini berati makanan Halal bukan Babi. Jika ada rumah makan, warung dsb ada kata "Umum". Sesampianya di penginapan di daerah Rantepao tepat pukul 22.00 WITA, kami kemudian beristirahat.

Hari Ke Dua, kami gunakan untuk berkunjung ke tempat-tempat wisata ikonik di Toraja.

1. LOLAI
Salah satu tempat yang hits di Toraja adalah Lolai, suatu kampung yang disebut sebagai Negeri di Atas Awan. Letaknya berada di Kecamatan Kaplapitu Toraja Utara. Puncak Tingginya ykurang lebih 1300 meter di atas permukaan lautt, 20 kilo dari Rantepao. Kami berangkat pukul 03.00 pagi karena mengejar waktu ketika awan terbit, menurut Om Nelson, penduduk lokal, sekaligus saudara teman kami yang menemani perjalanan selama 4 hari di Toraja, awan yang berada di Lolai sejak dulu ada, dan ketika awan naik hingga memenuhi perkampungan itu adalah hal biasa, namun setelah seseorang mengunggah foto di media sosia, dan kemudian menjadi daya tarik wisatawan, lolai dijadikan tempat wisata. Saat kami tiba disana, Lolai sudah dipenuhi wisatawan, tiket masuk cukup murah Rp. 10 ribu/orang. Kami sedang tidak beruntung waktu itu, karena cuaca kurang bagus awan yang biasanya naik ke permukaan tahan, saat kami berkunjung kesana, tidak ada angin dan awan tidak begitu terlihat. Tips ketika berkunjung kesana adalah, jika kalian tidak kuat dengan hawa dingin, dianjurkan membawa jaket tebal.

Gempulan awan di Lolaai

Musim liburan jadi padat penduduk susah untuk berfoto



2. LONDA
Dari Lolai kita langsung menuju ke wisata berikutnya yaitu Londa. Londa merupakan sebuah kompleks makam yang ada di sebuah tebing batu Toraja. Tiket masuk Rp. 10 ribu/orang. Londa ini dijadikan objek wisata Tana Toraja yang juga cukup populer. Jaraknya adalah sekitar 7 kilometer dari Rantepao. Di sana ada banyak goa atau lubang di tebing yang dipahat untuk meletakkan peti mati. Penempatan peti mati pun disesuaikan dengan aturan adat, yaitu sesuai garis keturunan.

Kata seorang teman yang asli Toraja, Londa sejak dulu bentuknya seperti itu tidak ada perubahan meskipun dijadikan objek wisata. Yah, memang benar saja, Londa ini sebenarnya adalah pemakaman keluarga bangsawan. Jadi zaman dahulu Toraja adalah hutan yang luas dan banyak binatang buas, jika ada keluarga yang meninggal untuk melindungi dari binatang buas, peti-peti mati diletakkan di dalam goa atau digantung diatas goa-goa. Nah ketika kita kesana, tebing goa yang cukup tinggi jika kita melihat ke atas kita akan menemukan peti mati yang bergelantungan. Dengan perkembangan zaman, semakin menipisnya goa dan hutan-hutan, pemakaman berganti menjadi bangunan-bangunan rumah kecil untuk meletakkan peti mati agar terlindungi.






Di depan tebing Londa kita akan menemukan patung-patung manusia terbuat dari kayu yang berjejer rapi. Patung-patung tersebut adalah gambar wajah orang yang meninggal. Tradisi membuat patung wajah kerabat yang meninggal ini tidak dihususkan, kebanyakan dari mereka adalah tokoh, seseorang yang terhormat, pejabat atau lainnya.
 
Dipaksa mesem, padahal takut berfoto disini.hehe
Di kawasan Londa ini ada goa yang bisa dikunjungi oleh wisatawan, goa tersebut tidak lain berisi peti mati dari zaman dahulu hingga jenazah yang baru berusia sehari. Penduduk lokal sengaja menjadikan pemakaman tersebut menjadi objek wisata. Pengalaman bagi saya memasuki goa yang berisi jenazah dan peti mati sedikit menakutkan, bagaimana tidak kita mendatangi sebuah pemakaman yang berusia ribuan tahun. Banyak peti mati, tengkorak, tulang belulang. Guide setempat menjelaskan, jika yang meninggal anak kecil wajib ditempatkan di tempat yang paling tinggi, ini menunjukkan bahwa anak kecil ini masih bersih dan agar lebih dekat dengan Tuhan. Kami tidak banyak berfoto didalam Goa yang penuh dengan mayat, karena bagi kami orang Islam "pamali" berfoto di tempat pemakaman seperti ini.



Berbicara tentang kematian, Masyarakat Toraja mempunyai keunikan sendiri. Mereka menyebutnya dengan Upacara Rambu Solo, yang hingga saat ini masih mereka jalankan dan lestarikan.

*Upacara Rambu Solo
Masyarakat mengenalnya dengan kata "Pesta", pesta ini bukan pesta perkawinan, pesta khitanan, pesta ulang tahun atau pesta-pesta lain yang sering kita dengar. Pesta ini adalah pesta kematian atau upacara Rambu Solo. Ketika ada sanak keluarga yang meninggal, keluarga yang ditinggalkan harus mengadakan pesta atau uapacara adat ini sebagai persembahan terakhir yang mereka berikan untuk orang tersayang. Pesta atau adat ini bisa menghabiskan dana yang cukup banyak. Masyarakat setempat memberikan kerbau, baby untuk tuan rumah, kerbau yang dikirimkan hampir 100 kerbau. Jika dari keluarga bangsawan pesta kematian seperti ini pasca keluarga meninggal dunia pelaksanaan tidak begitu lama, namun jika dari keluarga biasa atau keturunan budak, maka untuk melakukan pesta mereka tidak mampu, peti mati yang berisi jenazah keluarga tersayang akan disimpan didalam rumah sampai mereka mampu menggadakan pesta. Jadi jenazah tidak akan dikuburkan sebelum dilakukan pesta sehingga jangan heran jika berkunjung ke rumah orang Toraja melihat di sana ada satu ruang menyimpan peti mati, berarti keluarga tersebut belum bisa mengadakan pesta kematian untuk keluarganya.
Warga sedang menyiapkan pesta kematian



Selain tradisi upacara Rambu Solo, hal unik lainnya adalah tempat pemakaman. JIka kita berada di Toraja janga  heran jika di pinggir jalan kita akan melihat bangunan seperti rumah berukuran kecil. Ada satu bahkan ada 3 atau lebih, dan di rumah kecil tersebut di depannya ada patung kecil menyerupai manusia atau terpasang foto seseorang. Yah itu adalah makam keluarga tercinta masyarakat Toraja. Mereka memakamkan keluarga mereka di dekat rumah, di pekarangan rumah mereka bukan di pemakaman umum.

Tana Toraja banyak memiliki keunikan dan tradisi yang masih dipegang teguh masyarakat lokal. Selain pesta kematian, hal yang menarik lainnya adalah terkait Kasta yang masih kuat di tana Toraja. Kasta Bangsawan akan bersanding dengan Bangsawan, Kasta Budak bersanding dengan Kasta Budak. Kasta budak ini adalah golongan yang hidupnya ditolong, dibantu dan dihidupi oleh Kasta Bangsawan, sehingga dari nenek moyang hingga generasi-generasi berikutnya mereka tetaplah kasta budak meskipun di kehidupan saat ini mereka menjadi orang kaya raya. Ada cerita menarik dari saudara teman saya, Saat di bangku kuliah ia naksir seorang perempuan yang sangat cantik, diperkenalkan ia ke keluarganya, tradisi masyarakat Toraja adalah menelusuri garis keturunan seseorang, dan ternyata nenek moyang gadis ini adalah keturunan budak, dari pihak keluarga menentang hubungan tersebut, orangtuanya mengancam mengusir dari rumah bahkan dikeluarkan dari keluarga jika masih menikah dengan gadis budak tersebut. Sehingga kisah percintaan saudara teman saya ini pun kandas.

Meskipun pernikahan tersebut disetujui dan dinamakan kasta campuran, ketika menghadiri atau menggadakan pesta atau acara keluarga, sang anak bangsawan bisa duduk dijajaran keluarga besar, sedangkan anak dan istri/suami mereka akan masuk dalam golongan kasta budak yakni siap menjadi pelayan, melaksanakan perintah apa saja dari keluarga bangsawan, keluarga si tuan, mencuci piring, tukang angkat, bahkan peralatan makan mereka pun dibedakan. Daripada melihat anak istri mereka menjadi budak dan diperlakukan demikian, biasanya mereka lebih memilih mengikuti tradisi daripada menolak tradisi yang sudah kental tersebut.

Teman saya bercerita, jika ada orang Toraja yang kemudian kita tanya pulang kampung ke Toraja berapa bulan atau tahun sekali ia bilang tidak pernah pulang, maka mereka terindikasi dari keluarga Budak. Kenapa demikian? jadi kasta Budak lebih memilih bekerja, berkarir di luar Toraja ketimbang di tanah kelahirannya sendiri. Jika Kasta budak ini generasinya kehidupannya berubah menjadi seorang yang kaya raya, berpendidikan, dan mempunyai jabatan jika ia kembali ke Tana Toraja statusnya tetap saja budak, yang ketika ada pesta keluarga digolongkan dengan Kasta Budak. Melihat tradisi ini saya merasa ada diskriminasi status, bagaimana mungkin generasi sekarang mewarisi ketidakberdayaan nenek moyangnya yang sudah lampau sekali, kenapa status itu tidak bisa dihapus kita kehidupan sudah berubah labih baik. Namun sebagai orang luar, kita tidak bisa ikut campur dengan tradisi yang sudah melekat dengan kental di kehidupan masyarakat Toraja.

3. Wisata Religi Buntu Burake
Meninggalkan keunikan tradisi masyarakat Tana Toraja, kita beralih ke Wisata berikutnya yaitu Buntu Burake. Wisata religi Buntu Burake terletak sekitar 4 km dari pusat kota Makale, Tana Toraja. Nama Buntu Burake semakin mendunia setelah di puncaknya berdiri Patung Tuhan Yesus memberkati yang disebut tertinggi di dunia. Patung ini memiliki tinggi 40 meter menghadap Kota Makale. Icon wisata Tana Toraja ini mengalahkan tinggi patung Kristus Penebus di Brazil jika dihitung dari permukaan laut. Patung Yesus menandakan bahwa mayoritas penduduk Toraja adalah umat kristiani. Bagi saya ketika berkunjung kesana takjub dengan patung yesus yang cukup besar, tapi untuk berlama-lama disana kurang mengasyikkan, yang indah adalah pemandangan disekita patung tersebut, pegunungan-pegunungan yang indah.




4. Museum Neg Gandeng
Museum Ne’ gandeng berada di tengah sawah. Tepatnya di Desa Palangi, Kecamatan Sa’dan Balusu. Ne’Gandeng adalah salah satu tempat wisata yang juga berada di Tana Toraja. Akan tetapi tempat wisata yang satu ini, dikenal bukan karena wisata alamnya, atau wahananya, melainkan karena Tongkonannya yang begitu banyak sehingga membuat tempat ini memiliki keunikan dari tempat wisata yang lain. Selain itu keindahan alam di sekitar Museum Neg Gandeng membuat betah pengunjung.



5. Kete Kesu
Berada di desa Bonaran, sekitar lima kilometer dari pusat kota Rantepao, akses menuju desa ini cukup butuh perjuangan dengan jalan beraspal yang gak begitu luas. Sepanjang jalan menuju kawasan adat, kamu bakal disuguhkan pemandangan asri persawahan dan alang-alang. Di desa ini diyakini menjadi salah satu tempat saksi sejarah awal mula keberadaan masyarakat Tana Toraja. Kete Kesu telah dihuni para leluhur yang terbukti dengan keberadaan pahatan, serta peninggalan jejak kearifan lokal sebagai bukti adanya peradaban ratusan tahun silam. Kete Kesu menghadirkan sisa-sisa peninggalan bersejarah yang berumur ratusan tahun, mulai dari rumah adat (Tongkonan), ukiran dinding, artefak hingga makam orang-orang penting di masa lalu.



Berbicara mengenai Tongkonan, ada perbedaan ukiran didingin, cat dan yang lainnya antara kasta dan bangsawan. Kasta Bangsawan membuat tongkongan dengan berbagai ukiran cantik bewarna merah emas, sedangkan Kasta budak Tongkongan mereka hanya terbuat cari kayu biasa tanpa cat dan emas. Sehingga ketika kita datang ke Toraja dan melihat berbagai rumah adat di jalan, kita bisa mengklasifikasikan sendiri.

6. Batutumonga


Merupakan kota kecil yang terletak di lereng Gunung Sesean di kecamatan Sesean Suloara, terletak 24 km sebelah utara dari kota Rantepao, memiliki panorama yang indah. Sepanjang perjalanan dari kota Rantepao menuju Batutumonga dilalui jalan yang berkelok-kelok dan pada beberapa ketinggian tertentu pemandangan yang sangat eksotik dapat dinikmati dengan suhu udara yang dingin dan segar. Pemandangan ke arah kota Rantepao dan Lembah Sa’dan yang berada di kejauhan di kaki gunung. 







Puas berkunjung ke beberapa wisata di Toraja, sebenarnya banyak wisata di sini, namun waktu yang cukup singkat tidak bisa kami kunjungi semua. Untuk oleh-oleh kita bisa temui di Kete Kesu, namun untuk harga lebih murah kita bisa ke Pasar Rantepao, kami berbelanja disana dan harga lebih murah dibanding di tempat wisata.

Oleh-oleh Khas lain yang tidak kalah menarik adalah KOPI, yah Toraja adalah surganya kopi enak. Beberapa perkebunan di Toraja sudah banyak mengekspor kopi ke luar negeri. Kali ini sesuai dengan anjuran saudara teman yang ada di Toraja, kami dibawah menuju Toko Bubuk Kopi Rejeki yang berada di Jalan Emmy Saelan No.28. Ada dua jenis kopi yang ditawarkan Toraja Robusta dan Toraja Arabica. Harga Toraja Arabika dipatok mulai dari harga Rp. 50rb per 250 gram, dan Toraja Robusta dipatok harga Rp. 20rb per 250 gram, pembeli bisa memilih bentuk biji kopi atau yang sudah digiling harganya sama saja.




Ulasan terkait makanan umum yang enak dan sederhana kita bisa berkunjung ke WArung Pong Buri yanag berada di Jalan Pembangunan, Penanian Rantepao, Wrungnya memang sederhana namun rasanya luar biasa enak. Menu yang disajikan ada rendang kerbau, bebek, ayam bungkus bambu, ikan, belut dan namanya saya lupa semua karena aneh-aneh.hehe. Yang khas dari hidangan Toraja ini adalah sambel yang terbuat dari cabai yang bewarna Katokkon, bentuk cabainya seperti ceri, cabai ini adalah tanaman endemik yang tidak dapat tumbuh di sembarang tempat. (FYI, foto sudah saya sertakan yaa..)



Hari kedua kita gunakan untuk mengunjungi tempat wisata ikonik di Toraja, perjalanan kami pulau pukul 3 pagi hingga 9 malam. Hari ketiga kita bertolak ke Palopo, yang letakknya kurang lebih 60 km, kita melewati pegunungan, perbukitan dan jalanan yang berkelok dan mempunyai tikungan yang tajam, kepergian kami ke Palopo tidak lain untuk urusan pekerjaan, menuju BLK Palopo. Tidak ada cerita yang menarik diperjalanan dihari kedua, hanya tugas dan perjalanan dengan pemandangan yang indah, sesekali berhenti ngopi ditemani dengan pemandangan bebukitan Tana Toraja. Hari ketiga ditutup dengan perjalanan dari Rantepao ke Palopo.


Hari terakhir kami berberes dan kemudian pukul 08.00 WITA pagi kita sudah bersiap untuk bertolak ke makasar menggunakan rental mobil, bersyukurlah kembali tidak menggunakan bus lagi. Tidak jauh berbeda dengan perjalanan ketika berangkat, jarak tempuh  Toraja Makasar kurang lebih 8 jam dengan beberapa kali singgah untuk makan, salat dan buang air kencing. Dengan perhitungan yang pas, kita sampai di Bandara pukul 17.00 WITA, siap menuju Jakarta.

Demikian pengalaman selama 4 hari di Tana Toraja, untuk kesana memang minimal smeinggu, karena perjalanan yang jauh dan jika ingin mengunjungi semua wisata yang ada disana. Semoga bermanfaat (Toraja, 20-23 Juni 2018).

No comments:

Post a Comment