Sunday, 17 April 2016

Aku, Laki-Laki Bermata Cokelat Dan Ibu

Aku, Laki-Laki Bermata Cokelat
Dan Ibunya

Sore itu, setelah 3 jam lebih duduk di atas kendaraan roda dua dengan laki-laki bermata cokelat menggengam stang motor dan hampir dalam perjalanan tak ada percakapan diantara kita. Hanya sekali-kali mengobrol. Di situasi seperti ini aku membenarkan bahwa dirinya pendiam, terkadang.

Aku turun dari atas motor,  Rumah asing yang tak pernah aku singgahi, daerah asing yang sekalipun tak pernah aku datangi. Dari depan pintu aku diam, sedikit takut, ragu tuk masuk. Sialnya, Laki-laki bermata cokelat itu masuk lebih dulu dan meninggalkan aku yang gugup setengah mati di belakang.

Dari dalam rumah, terlihat sosok perempuan menggunakan gamis dan jilbab datang menghampiriku, dengan sebuah senyuman ramah, dan sepertinya kehadiranku benar-benar sungguh dinantinya. Terlihat jelas dari raut mukanya yang begitu bahagia menyambutku, perempuan asing yang nantinya akan menjadi bagian dari hidupnya, bagian hidup keluarganya, bagian dari hidup anak nomor duanya, laki-laki bermata cokelat.

Aku masih dalam keadaan nervous, diam, hanya senyum, dan sedikit melontarkan sapaan kaku karena bingung, harus bagaimana aku bersikap. Saat itu berasa detik jam ini berjalan lambat setengah oktaf, Bagaimana tidak, ini adalah kali pertamanya seorang laki-laki yang benar-benar aku sayangi membawa diriku untuk diperkenalkan kepada orangtuanya.

Duduk di kursi ruang tamu, aku, laki-laki bermata cokelat dan perempuan yang nantinya menjadi ibu keduaku. Suasana sedikit canggung, dan benar saja aku kepanasan karena nervous, padahal cuaca di luar tampak mendung dan sedikit berangin.

Saat itu juga, aku pun bingung memposisikan tempat dudukku, takut terlihat tidak sopan, dalam kepala bertumpuk kosakata bahasa Jawa halus (baca: Jawa Kromo) yang sudah aku pelajari dan persiapkan sebelum datang ke rumah ini agar nantinya aku bisa mudah berkomunikasi dengan keluarga laki-laki bermata cokelat. Aku memang orang Jawa, hidup bertahun tahun di lingkungan Jawa, namun penguasaan bahasa jawaku sangat miris sekali. Saat di bangku sekolah, aku lebih terbiasa menggunakan bahasa Indonesia, begitu pun saat di rumah, bahasa Jawa kasar dan jarang menggunakan bahasa Jawa Kromo.

Obrolan berlanjut, yah tentu saja bahasa yang dipergunakan dalam obrolan kami bahasa Jawa, dan terkadang dibumbui aksen bahasa khas Bojonegoro, yang terkadang sebenarnya aku juga tidak sepenuhnya faham. Saat itu Aku anggap mengerti sajalah.
Mungkin perempuan itu sedikit faham kalau aku sedang grogi dan kepanasan, disuguhinya aku minuman dan beberapa makanan. Dimintanya aku minum. Andai kau tahu laki-laki bermata cokelat, saat itu aku tidak haus, aku tidak ingin apa-apa, perasaan bahagia ku menghilangkan itu semua. Asal kau tahu laki-laki bermata cokelat, selama di sana berhadapan dengan perempuan yang melahirkanmu itu aku merasa tak percaya, aku sudah duduk di depan ibumu, di rumahmu. Tuhan, saat itu aku merasa jadi perempuan paling bahagia.

Perasaan gugup pun semakin memuncak ketika tiba-tiba perempuan ini bertanya kepadaku tanpa basa-basi, "Nduk, sampean temen sayang karo anakku". Dengan nada getar, dan sekali aku melihat laki-laki bermata cokelat itu, sialnya dia malah asik dengan gadget-nya. Yah, aku pun perlahan menjawab "Insyallah, nggeh bu". Melebihi sidang skripsi, pertanyaan dari penguji pun datang bertubi-tubi. "Piye lek resepsine dibarengne karo mas e". Meleleh sudah aku pertanyaan itu terlontar dari mulut perempuan ini. Sebenarnya pertanyaan demikian sering aku dan laki-laki bermata cokelat bicarakan. Tapi, mendengar kalimat itu muncul dari perempuan ini membuatku bahagia sekaligus bingung. Bahagia karena ini kali pertamanya seorang laki- laki benar-benar serius ingin berumah tangga denganku. Bahagia mendengar ada seorang calon ibu mempertanyakan kepadaku, apa aku siap menikah dan hidup bersama anaknya. Asal kau tahu laki-laki bermata cokelat Saat itu aku pingin nangis saja, betapa bahagianya aku. Untuk kebingungan menjawab pertanyaan ibumu yang kedua, pastilah kau tahu kenapa alasannya.

Selang beberapa waktu berbincang dengan ibumu, datang seorang pria berpeci dan menggunakan sarung kluar dari dalam. Deg, laki-laki yang selam ini menjadi iman keluargamu ini datang dan ikut duduk berbincang bersama di ruang tamu. Hemm saat itu aku berfikir makin memuncak lah rasa gugupku, belum pernah satu kali pun aku berinteraksi dengan beliau. Kita kira apa yang akan beliau tanyakan? Bincangkan?.

Alhamdulilah semua perasaan gugup, canggung itu pun sedikit demi sedikit berkurang. Dari jam 14.00 - 20.00 WIB berada di rumahmu, berkenalan dengan kedua orangtuamu, nenekmu, sanak saudaranya, bahkan tetanggamuu sungguh perasaan bahagia berkecamuk dan meluap-luap dalam jiwa, tak bisa diutarakan. Terimaksih atas keseriusan ini. Semoga kedepan Tuhan selalu meridhoi dan mempermudah hubungan kita, hubungan antara kedua orangtua kita, selalu sabar, sampai ijab qobul itu kau bacakan di depan kedua orangtua kita..Amin

Bojonegoro, 17 April 2016

Dengan Penuh Kebahagiaan Aku Menulisnya
Salam J


No comments:

Post a Comment