Aku,
Laki-Laki Bermata Cokelat
Dan
Ibunya
Sore itu, setelah 3 jam lebih duduk
di atas kendaraan roda dua dengan laki-laki bermata cokelat menggengam stang
motor dan hampir dalam perjalanan tak ada percakapan diantara kita. Hanya
sekali-kali mengobrol. Di situasi seperti ini aku membenarkan bahwa dirinya pendiam,
terkadang.
Aku
turun dari atas motor, Rumah asing yang tak pernah aku singgahi, daerah
asing yang sekalipun tak pernah aku datangi. Dari depan pintu aku diam, sedikit
takut, ragu tuk masuk. Sialnya, Laki-laki bermata cokelat itu masuk lebih dulu
dan meninggalkan aku yang gugup setengah mati di belakang.
Dari
dalam rumah, terlihat sosok perempuan menggunakan gamis dan jilbab datang
menghampiriku, dengan sebuah senyuman ramah, dan sepertinya kehadiranku
benar-benar sungguh dinantinya. Terlihat jelas dari raut mukanya yang begitu
bahagia menyambutku, perempuan asing yang nantinya akan menjadi bagian dari
hidupnya, bagian hidup keluarganya, bagian dari hidup anak nomor duanya,
laki-laki bermata cokelat.
Aku
masih dalam keadaan nervous, diam, hanya senyum, dan sedikit melontarkan sapaan
kaku karena bingung, harus bagaimana aku bersikap. Saat itu berasa detik jam
ini berjalan lambat setengah oktaf, Bagaimana tidak, ini adalah kali pertamanya
seorang laki-laki yang benar-benar aku sayangi membawa diriku untuk
diperkenalkan kepada orangtuanya.
Duduk
di kursi ruang tamu, aku, laki-laki bermata cokelat dan perempuan yang nantinya
menjadi ibu keduaku. Suasana sedikit canggung, dan benar saja aku kepanasan
karena nervous, padahal cuaca di luar tampak mendung dan sedikit berangin.
Saat
itu juga, aku pun bingung memposisikan tempat dudukku, takut terlihat tidak
sopan, dalam kepala bertumpuk kosakata bahasa Jawa halus (baca: Jawa Kromo)
yang sudah aku pelajari dan persiapkan sebelum datang ke rumah ini agar
nantinya aku bisa mudah berkomunikasi dengan keluarga laki-laki bermata
cokelat. Aku memang orang Jawa, hidup bertahun tahun di lingkungan Jawa, namun
penguasaan bahasa jawaku sangat miris sekali. Saat di bangku sekolah, aku lebih
terbiasa menggunakan bahasa Indonesia, begitu pun saat di rumah, bahasa Jawa
kasar dan jarang menggunakan bahasa Jawa Kromo.
Obrolan
berlanjut, yah tentu saja bahasa yang dipergunakan dalam obrolan kami bahasa
Jawa, dan terkadang dibumbui aksen bahasa khas Bojonegoro, yang terkadang
sebenarnya aku juga tidak sepenuhnya faham. Saat itu Aku anggap mengerti
sajalah.
Mungkin
perempuan itu sedikit faham kalau aku sedang grogi dan kepanasan, disuguhinya
aku minuman dan beberapa makanan. Dimintanya aku minum. Andai kau tahu
laki-laki bermata cokelat, saat itu aku tidak haus, aku tidak ingin apa-apa,
perasaan bahagia ku menghilangkan itu semua. Asal kau tahu laki-laki bermata
cokelat, selama di sana berhadapan dengan perempuan yang melahirkanmu itu aku
merasa tak percaya, aku sudah duduk di depan ibumu, di rumahmu. Tuhan, saat itu
aku merasa jadi perempuan paling bahagia.
Perasaan
gugup pun semakin memuncak ketika tiba-tiba perempuan ini bertanya kepadaku
tanpa basa-basi, "Nduk, sampean temen sayang karo anakku".
Dengan nada getar, dan sekali aku melihat laki-laki bermata cokelat itu,
sialnya dia malah asik dengan gadget-nya. Yah, aku pun perlahan menjawab "Insyallah,
nggeh bu". Melebihi sidang skripsi, pertanyaan dari penguji pun datang
bertubi-tubi. "Piye lek resepsine dibarengne karo mas e".
Meleleh sudah aku pertanyaan itu terlontar dari mulut perempuan ini. Sebenarnya
pertanyaan demikian sering aku dan laki-laki bermata cokelat bicarakan. Tapi,
mendengar kalimat itu muncul dari perempuan ini membuatku bahagia sekaligus
bingung. Bahagia karena ini kali pertamanya seorang laki- laki benar-benar
serius ingin berumah tangga denganku. Bahagia mendengar ada seorang calon ibu
mempertanyakan kepadaku, apa aku siap menikah dan hidup bersama anaknya. Asal
kau tahu laki-laki bermata cokelat Saat itu aku pingin nangis saja, betapa bahagianya
aku. Untuk kebingungan menjawab pertanyaan ibumu yang kedua, pastilah kau tahu
kenapa alasannya.
Selang
beberapa waktu berbincang dengan ibumu, datang seorang pria berpeci dan
menggunakan sarung kluar dari dalam. Deg, laki-laki yang selam ini menjadi iman
keluargamu ini datang dan ikut duduk berbincang bersama di ruang tamu. Hemm
saat itu aku berfikir makin memuncak lah rasa gugupku, belum pernah satu kali
pun aku berinteraksi dengan beliau. Kita kira apa yang akan beliau tanyakan?
Bincangkan?.
Alhamdulilah
semua perasaan gugup, canggung itu pun sedikit demi sedikit berkurang. Dari jam 14.00 - 20.00 WIB berada
di rumahmu, berkenalan dengan kedua orangtuamu, nenekmu, sanak saudaranya,
bahkan tetanggamuu sungguh perasaan bahagia berkecamuk dan meluap-luap dalam
jiwa, tak bisa diutarakan. Terimaksih atas keseriusan ini. Semoga kedepan Tuhan
selalu meridhoi dan mempermudah hubungan kita, hubungan antara kedua orangtua
kita, selalu sabar, sampai ijab qobul itu kau bacakan di depan kedua orangtua
kita..Amin
Salam
J
No comments:
Post a Comment