Wednesday, 24 August 2011

HIMAPI: Gelar SAhur On The Road

Berbagi Kebaikan di Malam Sahur

Surabaya- Rabu (24/08) Himpunan Mahasiswa Prodi Politik Islma Fakultas Ushulludin mengadakan  Sahur  On The Road. Acara ini berlangsung mulai pukul 02.00 dini hari  sampai menjelang subuh. Bagi-bagi makanan sahur sepanjang jalan raya dimulai dari kampus IAIN sampai Taman Bungkul. Membagikan makanan kurang lebih 100 bungkus kepada tunawisma, anak jalanan, tukang becak di jalanan dan juga gelandangan-gelandangan yang ada di sepanjan jalan.” Kita menggadakan sahur, karena selama ini ketika bulan Ramadhan banyak yang mengagendakan kegiatan buka bersama anak yatim dan yang lainnya, jarang sekali berbagi pada saat sahur, karena ini kami penggurus HIMAPI  mengadakan kegiatan Sahur  On The Road” Tutur Yani Damayanti selaku ketua panitia kegiatan ini.
Selain itu yani juga menambahkan bawhwa kegiatan ini merupakan  ritual sosial yang dilakukan oleh setiap muslim untuk bershodaqoh, oleh karena itu jika mempunyai gagasan melakukan sesuatu yg baik harus segera dilaksanakan. apalagi dalan bulan yang penuh berkah seperti ini. Karena niat kita hanya untuk mencari ridho dari Allah swt.


            Acara ini diikuti oleh mahasiswa Prodi Politik Islam juga dihadiri oleh beberapa HMJ Fakultas Ushuluddin, Gubernur SEMA Fak Ushuluddin juga Presiden  DEMA sekaligus Sekjend menyempatkan diri untuk hadir. Sahur On The Road dengan tema “We Care, We Share With Others, menunjukkan bagaimana kepedulian kita terhadap sesama yang memang mempunyai kondisi yang kurang mengguntungkan bagi mereka.
“ Di bulan Ramadhan, semua umat Islam berlomba-lomba mencari kebaikan dan pahala sebanyak-banyaknya, ketika semua orang banyak menggadakan agenda pada saat berbuka, bagaimana nasib mereka ketika sahur, apakah mereka sudah mendapatkan kebaikan ketika sahur, ini juga salah satu tujuan dari kegiatan Sahur On The Road”. Tutur Isna Wahyuningsih selaku Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Prodi Politik Islam.
            Setelah beberapa makanan sahur dibagikan di jalan A.Yani sampai Taman Bungkul semua panitia, peserta juga undangan sahur bersama di Taman Bungkul dengan tujuan kebersamaan para partisipan acara Sahur On The Road ini.


Monday, 15 August 2011

Pahit Manisnya Tionghoa Nusantara



Wahai  manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbagsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. (Al-Hujurat:13)

Sepenggal potongan surat yang bisa mengintrepretasikan bagaimana manusia diciptakan dimuka bumi, tidak lain untuk saling menghargai dan menghotmati diantara sesama mereka.

Di Negeri Plural ini, kelompok etnis Tionghoa juga turut mewarnai kehidupan di antar umat beragama di Indonesia. Akan tetapi keberlangsungan etnis tionghoa dengan kepercayaan yang mereka anut atau biasa yang kita sebut khonghucu tidak begitu saja mereka nikmati. Dalam sejarahnya etnis Tionghoa merupakan kelompok yang termarginalkan di negara yang menjunjung tinggi keadilan serta toleransi beragama.

Pada Era Orde Baru etnis Tionghoa sama sekali tidak diakui keberadaannya, bahkan banyak kecaman-kecaman baik segi sosial, keagamaan dan politik mereka. Kecaman itu berasal pemerintah Indonesia sendiri. Tahun 1998 pada masa otoriter Soeharto telah membuat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pelarangan Eksplorasi Kebudayaan Cina di Ruang Publik, sehingga kelompok etnis Tionghoa sangat termarginalkan. Perlakuan yang tidak sama dengan warga Negara lainnya, banyak sekali peraturan di Indonesia yang bersifat diskriminatif. Ada beberapa peraturan hukum  pada masa Soeharto yang berciri diskriminatif terhadap warga Tionghoa yakni pertama, ketetapan MPRS RI Nomor XXVII/MPRS/1996 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan, yang melarang kelompok etnis Tionghoa pemeluk agama Tao beribadah di depan umum, serta melarang adanya pendidikan dan huruf bercirikan budaya Tiongkok. Kedua, Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127/U/Kep/12/1996 tentang Prosedur Ganti Nama bagi Warga Negara Indonesia yang Memakai Nama Cina Berdiam di Luar Negeri. Dengan adanya peraturan tersebut warga Tionghoa benar-benar mempunyai ruang interaksi yang amat sempit.

Lalu siapa sebenarnya kelompok etnis Tionghoa itu? Pada awal pertama kali orang Tionghoa menginjakkan kaki di Kepulauan Nusantara, mereka segera menemukan diri sebagai “orang asing”, tidak ada yang mengenal mereka, bahasa mereka tidak ada teman ataupun kerabat. Kebanyakan orang Tionghoa yang masuk ke Indonesia antara tahun 1860-an sampai 1920-an didatangkan untuk bekerja di perkebunan dan mengeksploitasi komoditas produk tambang bagi pasar Barat. Oleh sebab itu, mereka kebanyakan buta huruf, dan tidak berpendidikan seperti kebanyakan perantau Tionghoa yang menetap di bagian Asia Tenggara, ketika mereka baru tiba di Indonesia, mereka tidak dapat berbicara bahasa lokal. Untuk bisa bertahan hidup mereka mencari teman atau saudara yang berbicara dengan dialek seperti mereka, memiliki nama keluarga yang sama. Hingga akhirnya mereka membentuk organisasi kecil dalam kelangsungan hidup mereka berdasar nilai-nilai tradisi dan budaya.

Spirit Of Capitalism Weber


Semangat Kapitalisme Max Weber Spirit Of Capitalism atau pemikiran Weber terhadap kapitasime muncul sebagai tindak lanjut dari teori tindakan social (Social Action), bagaimana individu menjadi dan memberi makna terhadap hubungan sosial dimana individu menjadi bagian didalamnya. Selain itu timbulnya teori  ini tidak lepas dari pemikiran Karl Marx mengenai kelas kapitasme di dasarkan atas sejenis hubungan kelas terpenting, yakni antara kapital dan pekerja yang memiliki pabrik dan mesin yang telah semakin menggantikan tanah sebagai alat produksi, dan tenaga kerja upahan atau “buruh” merupakan kelas pekerja yang tidak mempunyai milik, yang telah kehilangan kontrolnya terhadap alat-alat produksi.[1] Selain itu Marx juga beranggapan bahwa kapitasime adalah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu (kaum borjuis) menguasai sumber daya produksi vital, yang mereka gunakan untuk meraih keuntungan maksimal.[2] Kaum borjuis sebagai peraih keuntungan dari hasil kerja para proletar (orang-orang yang memproduksi barang-barang) yang oleh kaum kapitasi kemudian dijual di pasar untuk meraih keuntungan yang banyak. Berangkat dari sinilah Weber yang juga memiliki pemikiran yang cukup signifikan tentang kapitalisme. Memang pemikiran Weber tidak jauh beda dengan Max. Max hanya menekankan pada satu sisi yakni ekonomi, akan tetapi secara keseluruhan pemikiran dan tesis Weber berbeda dengan Max. Weber menerangkan ide-ide kapitalismenya dalam karya “ The Protestant Ethic and The Spirit Capitalism”.

Belajar Dari Organisasi

Ada anggapan mengikuti organisasi di sekolah atau kampus merupakan hal yang sia-sia, membuang waktu dan tidak ada manfaatnya sama sekali. adapula yang beranggapan bahwa mengikuti organisasi itu merupakan kelebihan tersendiri, karena dengan organisasi kita bisa belajar diluar apa yang biasa kita dapatkan di pendidikan formal. Nah penulis sendiri menganut faham yang kedua. Manfaat dari ikud organisasi sangat luar biasa. Nilai lebih seseorang yang ikud organisasi dan tidak antara lain,pertama berani berbicara di depan public jadi kita gag perlu takut atau malu-malu ketika berbicara di depan orang banyak, karena di dalam organisasi kita di tuntut untuk bisa berargumen, Kedua, coba kita liat mereka yang tidak mengikuti organisasi komunitas yang mereka bangun hanya sedikit dan tidak meluas, berbeda dengan seseorang yang aktif di orgaisasi komunitas mereke luas, teman banyak dan kita bisa mengenal serta belajar dari berbagai karakter manusia.ketiga, di dunia kerja, perusahaan tidak hanya membutuhkan ijazah ataupun nilai akademik saja, akan tetapi mereka melihat bagaimana seseorang bisa aktif dan mempunyai pengalaman organisasi dan pengalaman kerja. keempat Orang yang suka berorganisasi ia akan mudah membaur dengan masyarakat luas, tidak minder ataupun malu.Memang kadangkalanya dengan seambrek aktivitas di organisasi membuat kita capek dan menghabiskan waktu untuk orang-orang yang kita sayangi,tapi yakinlah yang kita lakukan sekarang akan mempunyai makna dan nilai tersendiri ketika kita sudah hidup di masyarakat.