Monday, 15 August 2011

Pahit Manisnya Tionghoa Nusantara



Wahai  manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbagsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. (Al-Hujurat:13)

Sepenggal potongan surat yang bisa mengintrepretasikan bagaimana manusia diciptakan dimuka bumi, tidak lain untuk saling menghargai dan menghotmati diantara sesama mereka.

Di Negeri Plural ini, kelompok etnis Tionghoa juga turut mewarnai kehidupan di antar umat beragama di Indonesia. Akan tetapi keberlangsungan etnis tionghoa dengan kepercayaan yang mereka anut atau biasa yang kita sebut khonghucu tidak begitu saja mereka nikmati. Dalam sejarahnya etnis Tionghoa merupakan kelompok yang termarginalkan di negara yang menjunjung tinggi keadilan serta toleransi beragama.

Pada Era Orde Baru etnis Tionghoa sama sekali tidak diakui keberadaannya, bahkan banyak kecaman-kecaman baik segi sosial, keagamaan dan politik mereka. Kecaman itu berasal pemerintah Indonesia sendiri. Tahun 1998 pada masa otoriter Soeharto telah membuat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pelarangan Eksplorasi Kebudayaan Cina di Ruang Publik, sehingga kelompok etnis Tionghoa sangat termarginalkan. Perlakuan yang tidak sama dengan warga Negara lainnya, banyak sekali peraturan di Indonesia yang bersifat diskriminatif. Ada beberapa peraturan hukum  pada masa Soeharto yang berciri diskriminatif terhadap warga Tionghoa yakni pertama, ketetapan MPRS RI Nomor XXVII/MPRS/1996 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan, yang melarang kelompok etnis Tionghoa pemeluk agama Tao beribadah di depan umum, serta melarang adanya pendidikan dan huruf bercirikan budaya Tiongkok. Kedua, Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127/U/Kep/12/1996 tentang Prosedur Ganti Nama bagi Warga Negara Indonesia yang Memakai Nama Cina Berdiam di Luar Negeri. Dengan adanya peraturan tersebut warga Tionghoa benar-benar mempunyai ruang interaksi yang amat sempit.

Lalu siapa sebenarnya kelompok etnis Tionghoa itu? Pada awal pertama kali orang Tionghoa menginjakkan kaki di Kepulauan Nusantara, mereka segera menemukan diri sebagai “orang asing”, tidak ada yang mengenal mereka, bahasa mereka tidak ada teman ataupun kerabat. Kebanyakan orang Tionghoa yang masuk ke Indonesia antara tahun 1860-an sampai 1920-an didatangkan untuk bekerja di perkebunan dan mengeksploitasi komoditas produk tambang bagi pasar Barat. Oleh sebab itu, mereka kebanyakan buta huruf, dan tidak berpendidikan seperti kebanyakan perantau Tionghoa yang menetap di bagian Asia Tenggara, ketika mereka baru tiba di Indonesia, mereka tidak dapat berbicara bahasa lokal. Untuk bisa bertahan hidup mereka mencari teman atau saudara yang berbicara dengan dialek seperti mereka, memiliki nama keluarga yang sama. Hingga akhirnya mereka membentuk organisasi kecil dalam kelangsungan hidup mereka berdasar nilai-nilai tradisi dan budaya.
Pada masa awal kemerdekaan, pada saat Indonesia bergerak maju menuju demokrasi konstitusi, komunitas Tionghoa mulai menghadapi persoalan baru tentang isu-isu kewarganegaraan. Konferensi Meja Bundar Tahun 1949 untuk pertama kalinya mengangkat masalah kewarganegaraan penduduk Tionghoa di Indonesia.Ketetapan bahwa semua warga Tionghoa kelahiran Indonesia diberikan hak untuk memilih kewarganegaraan. Mereka bisa mendapatkan kewarganegaraan Indonesia tanpa melakukan apapun atau mereka bisa menetapkan status mereka sebagai warga Negara Tiongkok dengan secara resmi. Akan tetapi hal ini tidak membawa kelegaan bagi warga Tionghoa, timbul lagi situasi yang rumit dari Revolusi 1949 KaumTionghoa yang lahir di Indonesia yang tidak menolak kebangsaan Indonesia dan tidak jufa memilih kewarganegaraan Tiongkok adalah warga Negara yang ilegal.

Polemik-polemik yang terjadi pada masa orde baru merupakan gumpalan awan hitam yang selalu berada di atas langit kelompok etnis Tionghoa. Banyaknya tekanan dan penindasan budaya dan bahasa juga kerusuhan anti-Tionhgoa di tahun 1965. Kelompok Tionghoa di Indonesia patuh pada kebijakan asimilasi Soeharto, mereka mundur dari aktifitas partai, menjalankan adat istiadat dan tradisi mereka dalam lingkup keluarga saja. Anak-anak keturunan Tionghoa masuk ke dalam sekolah-sekolah berbahasa Indonesia, mempelajari sejarah Indonesia.

Selain budaya dan bahasa mereka, tentunya tidak lepas dengan ritual religi etnis Tionghoa. Mereka juga membawa Agama mereka dan tidak lupa menjalankan praktik agama. Kelompok Tionghoa membawa tiga agama, Sam Kaw (Tiga Agama) yang mengandung tiga unsure agama budha, agama Khonghuchu, dan Agama Tao yang kemudian berdiri sendiri tetapi banyak kesamaan diantara ketiganya. Akan tetapi tetap saja kebebasan beribadah dibatasi, bahkan Soeharto menerapkan sejumlah kebijakan yakni larangan merayakan hari raya dan melakukan tradisi lainnya di depan umum (1967) dan memusnahkan tiga pilar kultur Tionghoa yakni media berbahasa Tionghoa, Organisasi Tionghoa dan sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa. Agama Khonghucu sama sekali tidak diakui, bahkan semua warga Tionghoa menggunakan status Agama Budha.

Etnis Tionghoa dan Agama Konghuchu di Era ini.

            Seperti roda yang terus berputar, kadang berada dibawah dan terkadang berada di atas, kehidupan kelompok etnis Tionghoa dapat diibaratkan seperti itu. Pada masa orde baru Tionghoa dengan agama Khonghucu sama sekali tidak diberi kebebasan, toleransi beragamapun ditiadakan. Kehudupan suram orang-orang Khonghuchu berubah menjadi cerah dan mekar setelah dicabutnya beberapa Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 oleh Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Serta dikeluarkannya Undang-Undang kewarganegaraan Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 yang menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempatkan warga Tionghoa dalam persamaan dan kesetaraan dengan warga Negara lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hubungan warga Tionghoa dengan warga Indonesia semakin terbuka dan toleransi beragama semakin kuat.Hal ini dibenarkan oleh Bapak  Bakri Salim (55th) “ Sekarang ini memang benar aktivitas warga Khonghuchu sudah mulai dihargai oleh umat beragama yang lain, mereka menyambut baik kita semua, tidak ada perbedaan lagi setelah diakuinya agama Konghuchu oleh presiden Gus Dur, pemerintahpun sekarang sudah menerima kebudayaan warga Konghuccu serta masyarakat menyambutnya dengan sangat baik, bahkan hari Raya Imlek pun sekarang sudah menjadi hari libur nasional sama dengan perayaan-perayaan agama lain”.
            “ Saya ketika bekerja di Kanwil Depag sangat dihormati, meskipun saya warga Khonghucu semua bekerja sesuai dengan tanggungjawabnya dan saya diterima berbaur dengan mereka, Asalkan kita mempunyai etika yang baik, tata karma yang sopan orang lain pasti menghormati kita” tambah Pak Budi salah satu warga Khonghuchu usai beribadah di Klenteng atau Wihara Sangar Agung yang terletak di Kenjeran-Surabaya.

            Tidak hanya diakuinya agama Konghucu di Indonesia sehingga warga Tionghoa dapat dengan bebas melakukan ritual keagamaan di ruang public tidak lagi sembunyi-sembunyi. Akan tetapi kebudayaan dan bahasa merekapun saat ini mulai dipandang oleh masyarakat luas. Barongsai salah satu kebudayaan tradisional etnis Tionghoa yang mulanya berasal dari cerita seorang raja bermimpi bertemu dengan makhluk yang menyelamatkannya dan menceritakan kepada menteri-menterinya. Dan menteri mengatakan bahwa makhluk itu adalah singa yang dating dari Barat (India). Raja Kemudian memerintahkan agar menteri membuat replika makhluk yang menyelamatkan hidupnya. Sejak saat itu singa menjadi simbol keberuntungan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Barongsai biasanya dipentaskan pada perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh.

            “ Saat ini Barongsai sudah mulai dikenal masyarakat umum, beberapa waktu lalu YSSI (Yayasan Sahabat Sinoman Indonesia) mengadakan perayaan di Surabaya,ada penampilan Barongsai, serta KIRAP yaitu berjalan mengelilingi beberapa daerah dengan membawa dewa-dewa yang bertujuan untuk menjauhkan bencana alam ataupun kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di negeri ini. Masyarakat lain menyambutnya dengan baik, dipihak pemerintahpun mempermudah perijinannya, tidak seperti dahulu sangat sulit sekali mempublikasikan aktivitas warga Koonhguchu di tempat umum” Tutur Pak Bakri.

            Bahasa Mandarin yang semula tidak diperbolehkan sebagai bahasa keseharian warga Tionghoa dan mereka semua harus menggunakan bahasa Indonesia, pada saat ini malah sebaliknya, orang Indonesia mulai belajar memahami bahasa Mandarin.” Sekarang banyak orang-orang jawa belajar bahasa mandarin, didepan wihara Sangar Agung ini juga ada sekolah mandarin gratis, tidak hanya warga Tionghoa saja yang belajar disana, banyak warga-warga non-Tionghoa juga ikut belajar, kita sama sekali tidak membeda-bedakan”. Ujar Pak Bakri.

            Keberagaman etnis, suku, agama tentunya tidak membuat Negara semakin ruwet, akan tetapi dengan keberagaman membuat kita semakin satu apabila saling menghormati dan memberikan toleransi yang tinggi antar umat beragama.

* Tulisan ini bisa juga dibaca di Tabloid SOLIDARITAS (Tabloid Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya) Vo. 20 Edisi Juli 2011
           
           


No comments:

Post a Comment