Cerita 1
Malam ini aku banyak belajar dari Bu Tiin,
Ibu penjual asongam di depan masjid Istiqlal, Jakarta.
Malam ini aku benar-benar pusing, persoalan hati ini benar-benar menyita pikiranku. Ruangan tak bernyawa yang sedari awal aku tempati ketika di Jakarta, sama sekali tak memberiku kenyamanan.
Tidak ada hal lain yang aku pikirkan selain keluar dari rumah dan pergi entah kemana, Hal ini yang memberiku ketenangan ketika tak ada satu pun sahabat dan kelurga di dekatku.
Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 WIB, dalam tangis aku terus berdoa, jalan apa yang aku ambil? Laki-laki itu benar-benar telah menyita hati dan pikiranku. Di Jakarta, aku tak tahu tempat mana yang aman untuk aku datangi di jam segini? Memang benar jalanan kota masih ramai, cafe-cafe 24 jam buka non stop. Satu tempat yang sedari tadi sudah memenuhi pikiranku,tempat yangbisa menenangkan hati dan fikiran, Masjid! Yah, saat itu pikiranku hanya tertuju satu tempat Masjid.
Antara takut dan bingung, akhirnya aku beranikan diri untuk keluar rumah kontrakan. Saat itu aku sedang haid, belum bersuci. Segera aku mandi besar, sama saja nantinya aku pergi ke masjid tapi tak bisa salat dan ngaji.
Kunyalakan kendaraan roda dua yang selama ini menjadi partnerku bekerja, aku menyebutnya mojung (motor perjuangan). Jalan Salemba begitu amat sepi, tapi ketika kita melewati jalan raya depan kampus UI. Masih mentereng pemuda, pemudi, warga Jakarta yang masih ngopi dan nongkrong di cafe-cafe. Melewati salemba, Sedikit aku cepatkan laju motorku, melewati Kwitang ternyata jalanan sangat sepi, lampu jalan raya pun mati, kecepatan motor pun aku tambah, aku akui aku takt, tapi rasa sedihku menutupi itu semua.
Sampai sudah di area masjid Istiqlal, ternyata dini hari seperti ini semua pintu ditutup?Namun, di depan masih bnyak pedagang asongan. Aku lihat sekitar, sepi! Kendaraan bermotor pun tak ada yang perempuan, Bingung kemana aku ini pergi, aku lihat salah satu pedagang asongan tersebut ada seorang perempuan separuh baya, tempatnya pun di bawah lampu penerangan jalan, akhirnya aku beranikan diri untuk bertanya jam berapa pintu gerbang masjid di buka.
Aku pun memesan segelas teh hangat, udara sangat dingin Jakarta akhir-akhir ini setiap hari di guyur hujan. Sembari ibu ini membuat teh untukku! Aku bertanya kenapa sampai jam segini ia masih tetap berjualan.
Ibu ini bercerita, namanya Tiniasih asli warga kota Jakarta, ibu Tin sapaan akrabnya sudah hamapir 15 tahun bekerja sebagai penjual asongan.
Dulu di Jakarta sebelum birokrasi dan tata kelolah kota tidak seperti ini! Bu Tin bisa berjualan dimana saja.Namun sekarang. Setiap berjualan tiap harinha ia harus siap siaga jika ada satpol PP datang.
Ibu Tiin adalah seorang janda beranak empat. Anak pertamanya sudah menikah dan bekerja di Kalimanpntan tidak pernah pulang. Anak keduanya tidak tamat SMA dan bekerja serabutan. Sedangkan anak ketiga dan terakhir duduk di bangku SD dan SMP.
Untuk menghidupi keluarganya, Bu Tiin harus banting tulang bekerja sedari siang sampai larut malam. Penghasilannya pun tak begitu banyak, karena memang banyak penjual serupa seperti yang dilakukan oleh Bu Tiin
Sampai larut malam ia masih juga berjualan, karena memang penghasilannya masih belum memenuhi target. Sehari sejak pukul 12 siang, ia berkeliling barulah pukul 16.00 ia berjualan di depan masjid istiqlal, jika ramai ia hanya memperoleh 150 sampai 200 ribu saja. Aku berfikir, dibalik pekerjaanku, pekerjaan orangtuaku yang sederhana, dan dengan gaji yang pas-pasan. Ternyata masih banyak diluar sana orangtua yanglebih susah dibanding orang tuaku. Kenapa selama ini aku harus mengeluh? Kenapa aku harus terus merasa kurang?
Mengetahui aku bukan asli orang sini, dan bertanya kenapa malam-malam seperti ini masih keluar sendirian lagi. Beliau memberikan nasehat kepadaku. Jakarta itu keras, jika tidak bisa bertahan ia akan tumbang. Jakarta pun tidak bisa dikatakn kota yang menenagkan. Kenapa demikian? Tempat yang kita kira aman bisa jadi berbahaya. Anak muda memang emosinya labil. Tapi jangan sampai terpancing dan melakukan hal yang membahayakan atau merugikan diri sendiri. Segala tindakan harus dipikirkan secara matang-matang.
Ditengah himpitan gedung-gedung pencakar langit seperti kota Jakarta memang masih banyak orang-orang seperti Bu Tiin, tapi dibalik kesulitannya bertahan hidup, ia punya kepedulian terhadap orang lain.
Setelah kuhabiskan teh yang kubelim aku bergegas untuk pulang. Urung sudah niat berniat i'tikaf di masjid. Karena sedih yang tak kunjung reda dan menguras tenaga, aku mampir ke rumah makan cepat saji untuk memenuhi perutku yang ikut galau.
Trimaksih Bu Tin atas pelajaran malam ini. Kerjaan apapun harus dilandasi dengan rasa ikhlas agar tidak terasa berat dan satu lagi betindak sebelum sebelum berfikir.
Jakarta, 25 Januari 2015