Sunday, 25 January 2015

Nasehat Dari Pedagang Asongan

Cerita 1

Malam ini aku banyak belajar dari Bu Tiin,
Ibu penjual asongam di depan masjid Istiqlal, Jakarta.

Malam ini aku benar-benar pusing, persoalan hati ini benar-benar menyita pikiranku. Ruangan tak bernyawa yang sedari awal aku tempati ketika di Jakarta, sama sekali tak memberiku kenyamanan.
Tidak ada hal lain yang aku pikirkan selain keluar dari rumah dan pergi entah kemana, Hal ini yang memberiku ketenangan ketika tak ada satu pun sahabat dan kelurga di dekatku.
Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 WIB, dalam tangis aku terus berdoa, jalan apa yang aku ambil? Laki-laki itu benar-benar telah menyita hati dan pikiranku. Di Jakarta, aku tak tahu tempat mana yang aman untuk aku datangi di jam segini? Memang benar jalanan kota masih ramai, cafe-cafe 24 jam buka non stop. Satu tempat yang sedari tadi sudah memenuhi pikiranku,tempat yangbisa menenangkan hati dan fikiran, Masjid! Yah, saat itu pikiranku hanya tertuju satu tempat Masjid.
Antara takut dan bingung, akhirnya aku beranikan diri untuk keluar rumah kontrakan. Saat itu aku sedang haid, belum bersuci. Segera aku mandi besar, sama saja nantinya aku pergi ke masjid tapi tak bisa salat dan ngaji.
Kunyalakan kendaraan roda dua yang selama ini menjadi partnerku bekerja, aku menyebutnya mojung (motor perjuangan). Jalan Salemba begitu amat sepi, tapi ketika kita melewati jalan raya depan kampus UI. Masih mentereng pemuda, pemudi, warga Jakarta yang masih ngopi dan nongkrong di cafe-cafe. Melewati salemba, Sedikit aku cepatkan laju motorku, melewati Kwitang ternyata jalanan sangat sepi, lampu jalan raya pun mati, kecepatan motor pun aku tambah, aku akui aku takt, tapi rasa sedihku menutupi itu semua.
Sampai sudah di area masjid Istiqlal, ternyata dini hari seperti ini semua pintu ditutup?Namun, di depan masih bnyak pedagang asongan. Aku lihat sekitar, sepi! Kendaraan bermotor pun tak ada yang perempuan, Bingung kemana aku ini pergi, aku lihat salah satu pedagang asongan tersebut ada seorang perempuan separuh baya, tempatnya pun di bawah lampu penerangan jalan, akhirnya aku beranikan diri untuk bertanya jam berapa pintu gerbang masjid di buka.
Aku pun memesan segelas teh hangat, udara sangat dingin Jakarta akhir-akhir ini setiap hari di guyur hujan. Sembari ibu ini membuat teh untukku! Aku bertanya kenapa sampai jam segini ia masih tetap berjualan.
Ibu ini bercerita, namanya Tiniasih asli warga kota Jakarta, ibu Tin sapaan akrabnya sudah hamapir 15 tahun bekerja sebagai penjual asongan.
Dulu di Jakarta sebelum birokrasi dan tata kelolah kota tidak seperti ini! Bu Tin bisa berjualan dimana saja.Namun sekarang. Setiap berjualan tiap harinha ia harus siap siaga jika ada satpol PP datang.
Ibu Tiin adalah seorang janda beranak empat. Anak pertamanya sudah menikah dan bekerja di Kalimanpntan tidak pernah pulang. Anak keduanya tidak tamat SMA dan bekerja serabutan. Sedangkan anak ketiga dan terakhir duduk di bangku SD dan SMP.
Untuk menghidupi keluarganya, Bu Tiin harus banting tulang bekerja sedari siang sampai larut malam. Penghasilannya pun tak begitu banyak, karena memang banyak penjual serupa seperti yang dilakukan oleh Bu Tiin
Sampai larut malam ia masih juga berjualan, karena memang penghasilannya masih belum memenuhi target. Sehari sejak pukul 12 siang, ia berkeliling barulah pukul 16.00 ia berjualan di depan masjid istiqlal, jika ramai ia hanya memperoleh 150 sampai 200 ribu saja. Aku  berfikir, dibalik pekerjaanku, pekerjaan orangtuaku yang sederhana, dan dengan gaji yang pas-pasan. Ternyata masih banyak diluar sana orangtua yanglebih susah dibanding orang tuaku. Kenapa selama ini aku harus mengeluh? Kenapa aku harus terus merasa kurang? 
Mengetahui aku bukan asli orang sini, dan bertanya kenapa malam-malam seperti ini masih keluar sendirian lagi. Beliau memberikan nasehat kepadaku. Jakarta itu keras, jika tidak bisa bertahan ia akan tumbang. Jakarta pun tidak bisa dikatakn kota yang menenagkan. Kenapa demikian? Tempat yang kita kira aman bisa jadi berbahaya. Anak muda memang emosinya labil. Tapi jangan sampai terpancing dan melakukan hal yang membahayakan atau merugikan diri sendiri. Segala tindakan harus dipikirkan secara matang-matang.
Ditengah himpitan gedung-gedung pencakar langit seperti kota Jakarta memang masih banyak orang-orang seperti Bu Tiin, tapi dibalik kesulitannya bertahan hidup, ia punya kepedulian terhadap orang lain.
Setelah kuhabiskan teh yang kubelim aku bergegas untuk pulang. Urung sudah niat berniat i'tikaf di masjid. Karena sedih yang tak kunjung reda dan menguras tenaga, aku mampir ke rumah makan cepat saji untuk memenuhi perutku yang ikut galau.
Trimaksih Bu Tin atas pelajaran malam ini. Kerjaan apapun harus dilandasi dengan rasa ikhlas agar tidak terasa berat dan satu lagi betindak sebelum sebelum berfikir.

Jakarta, 25 Januari 2015


Friday, 23 January 2015

Pemuda Pengagas Yayasan Nara Kreatif

Nezatullah Ramadhan

Dari Usaha Daur Ulang Sampai Dirikan Sekolah Gratis Bagi Anak Jalanan 

Diusianya yang masih muda, Nezatullah Ramadan mampu menghidupi dan mengajak anak-anak jalanan untuk membuat sebuah produk dari sampah daur ulang. Dari hasil penjualan itu pula, ia bisa mendirikan sekolah gratis bagi anak jalanan dan kaum dhuafa. Kini, hampir 100 siswa yang belajar di rumah Yayasan Nara Kreatif. 

Sore itu matahari mulai kembali ke peraduannya. Sebuah rumah singgah yang terletak di Perumahan Bumi Harapan Permai, Jalan Bumi Pratama III Blok K Nomor 4 Kelurahan Dukuh, KEcamatan Kramat Jati, Jakarta Timur mulai ramai didatangi segerombolan anak-anak dengan membawa tas. Ada yang membawa ransel, tas jinjing, dan ada pula yang menjinjing buku di tangannya. USia anak-anak ini terlihat beragam, ada yang paling kecil kemungkinan umurnya sekitar 6-7 tahun, ada pula beberapa remaja putra.
Di halaman depan rumah tepampang tulisan Yayasan Nara Kreatif, Tertulis pula di sana Sekolah Gratis Masyarakat Dhuafa dan Rumah Singah Anak Jalanan. Yah, di sinilah beberapa tahun ini sebagian anak-anak jalanan di Kota Jakarta menempa ilmu pendidikan formal maupun agama. Tidak hanya itu,mereka pun mulai berwirausaha dengan menghasilkan produk-produk daur ulang. Dibalik nama Yayasan Nara Kreatif, ternyata ada seorang pemuda berusia 24 tahun yang bersusah payah mendirikan dan membangun yayasan tersebut.
 Di usianya yang masih muda, Nezatullah Ramadhan mempunyai kepedulian terhadap realitas sosial anak jalanan cukup tinggi. Hal inilah yang mendasari berdirinya Yayasan Nara Kreatif. Tidak hanya mengajak anak-anak jalanan untuk menghasilkanproduk-produk daur ulang saja, Neza pun mendirikan sekolah gratis bagi anak jalanan dan dhuafa.

Usaha Daur Ulang Bersama Anak Jalanan 
Pada awalnya, Neza dan temannya mengikuti Program Mahasiswa Wirausaha di Kampus Politeknik Jakarta. Kebetulan yang mereka pelajari adalah mengolah dan mendaur ulang kertas bekas dan limbah organik. "Awal Juni 2012 saya memulai usaha ini. Saya mendapatkan modal pinjaman dari kampus dengan jaminan ijasah," kata Neza.
Dari awal, program yang digagas oleh Neza tidak ingin hanya sekedar menyelesaikan masalah dengan memanfaatkan limbah, tapi program tersebut mempunyai manfaat sosial dari program tersebut. "Konsepnya itu mengubah sesuatu yang tak bernilai menjadi sesuatu yang bernilai. Bernilai ekonomi. Salah satunya adalah memanfaatkan kertas bekas yang ramah lingkungan," jelasnya. Ingin program yang dilakukan mempunyai manfaat yang luas tidak hanya produk yang ramah lingkungan. Neza pun mengajak anak-anak jalanan di sekitar rumahnya. 
Dalam waktu dua minggu ia melakukan observasi di lapangan. Mendatangi dan mendekati anak jalanan tersebut. Kenapa anak jalanan? Neza pun memaparkan, bahwa selama ini dibalik aktivitasnya dijalanan yang dipandang orang tidak mempunyai masa depan yang cerah, kluntang kantung mencari pekerjaan sana sini, mereka ini mempunyai keterampilan yang luar biasa. Hanya lingkungan yang tidak mendukungnya.
"Saya lakukan observasi selama dua minggu. Saya tahu bahwa uang yang mereka dapatkan sehari lebih banyak. Namun, mereka sesungguhnya tidak mempunyai kepercayaan pada dirinya. Full dari pagi sampai soreiabekerja di jalanan. Kebetulan waktu itu cowok-cowok yang saya dekati, jadi lebih mudah. Mereka merasa malu ketika dihadapkan kepada status sosial terutama urusan hati dan wanita. Mereka ingin mendapatkan mengakuan yang lebih bukan sekadar anak jalanan," jelas Neza.
Usaha yang dimulai dengan mengajak anak-anak jalanan tidak berjalan lancar begitu saja. Diawal laki-laki kelahiran 8 April 1991 ihi sempat ditinggalkan oleh teman-temannya, karena uang modal yang ia dapat habis dan teman-temannya memutuskan untuk berhenti. Saat itu, Neza yang sudah bertekad membuat usaha daur ulang bersama anak-anak terlanjur berjalan, ia memutuskan untuk menggunakan uangnya sendiri untuk meneruskan perjuangannya. "Saat itu saya memutuskan untuk terus melanjutkan usaha ini.
Dibantu teman saya dan dukungan orangtua, Alhamdulilah sekarang bisa berjalan lancar," ungkapnya. Bersama lima belas anak jalanan, Neza mulai membagun usahanya. Akhir bulan Januari, Neza mendirikan Yayasan Nara Kreatif. Diakui oleh Neza, tidak mudah mengubah pola pikir anak-anak jalanan. Ia memberikan keterampilan dan pengetahuan kepada anak-anak jalan tersebut.
"Anak-anak ini memang mempunyai keterampilan, jadi ketika dia ajari mendaur kertas mereka lngsung bisa. Hanya saja seleksi alam memang ada. Beberapa dari mereka keluar, adaj juga yang bertahan sampai sekarang. Ibaratnya intan, dimanapun tempatnya dia tetap intan dan jika dia sebuah batu biasa ya sekedar batu. Tapi saya selalu meyakinkan kepada mereka untuk terus bertahan dan tidak bosan memberikan arahan kepada mereka," katanya.
Anak dari Astarizal Munaf ini pun selalu berprinsip, kehidupan mereka memang sifatnya sosial, tapi bukan dari sumbangan,melainkan dari hasil penjualan produk. "Kami disini ditekankan, kalau kita ingin berkarya, mereka tinggal di sini kita semuanya gratis, makan dan tinggal gratis kita penuhi. Kalau dari sumbangan jatuhnya kita hanya meminta saja, sekalipun ada yang membantu alhamdulilah, tapi bukan prioritas, kalau pun ada sumbagan ya kita terima," ungkap Neza.

Dirikan Sekolah Gratis
Dirasa usaha daur ulang mulai massif, dan berbagai produk mulai di pasarkan. Peminjaman modal dari berbagai perusahaan pun mulai berdatangan menjadikan usaha daur ulang “Nara Recyle” mulai dikenal banyak orang. Neza pun berkeinginan agar Yayasan ini tidak sekadar sebagai badan usaha saja.
“Saya berkonsultasi dengan Profesor Raldi Artono Koestoer, guru besar Teknik Mesin UI dan Nurokhim, pendiri sekolah Master (Masjid Terminal) Depok, kemudian saya membuat sekolah gratis. Karena saya merasa usaha sudah mulai berjalan. Ingin hasil penjualan ini semakin bermanfaat, sekolah gratispun mulai kita agendakan,” papar Neza.
Sejak awal 2013, rumah Kreatipreneur yang digagas oleh Neza semakin banyak anak-anak jalanan dan kaum dhuafa yang berdatangan untuk mengikuti program sekolah gratis. Bukan hanya mengolah kertas daur ulang, tetapi mereka juga bisa sekolah gratis.
“Proses belajar mengajar dilakukan selama tiga kali dalam satu minggu mulai pukul 18.30 – 22.00, pada hari Selasa, Kamis, Jumat dan untuk hari Rabu,khusus hari untuk siswa yang beragama Islam belajar mengaji. Sejauh ini sudah hampir 100 anak jalanan,tidak mampu yang belajar di sini, ”jelasnya.
Rutinitas anak binaan dimulai setiap pagi pada saat sholat subuh berjamaah. Dilanjutkan pada pukul 8 hingga pukul 5 sore, aktifitas mereka berpusat pada daur ulang kertas dan membuat produk. Setelah sholat maghrib mereka belajar agama (sholat dan mengaji). Yayasan juga membuka kesempatan untuk masyarakat sekitar untuk belajar. Mulai tahun ini Rumah Kreatipreneur bekerjasama dengan Sekolah Master (Masjid Terminal ) Depok dalam melaksanakan ujian paket A, B, C, sehingga anak-anak bisa memperoleh ijazah. 
“Untuk tahun ini Alhamdulilah ada sekitar 17 siswa di paket C yang sudah mengikuti ujian. Tinggal menunggu hasilnya saja,” kata Neza. Harapan pun diutarakan oleh Neza, kedepan ia berharap bisa mempunyai rumah singgah yang tetap, karena selama ini kontrak dan berpindah-pindah. Dan siswa lulusan Yayasan Nara Kreatif bisa terus mengembangkan keterampilannya dan diterima di dunia kerja.

Wednesday, 21 January 2015

Kisah Muallaf

Amir, 35 Tahun, Mantan Pemeluk Tionghoa

Memilih Islam
Di Usir Oleh Keluarga
           
       Setalah saya memutuskan masuk Islam banyak sekali penolakan yang saya terima. Hampir 30 tahun saya dikucilkan bahkan diusir oleh keluarga saya sendiri. Berkat kesabaran dan terus berusaha menjadi muslim yang baik. Berkah Islam pun hadir ditengah-tengah keputusan saya. Satu persatu keluargapun masuk Islam mengikuti jejak saya.
Pembaca  yang dirahmati oleh Allah. Perkenalkan nama saya Amir, tinggal di daerah Pesing, Jakarta Barat. Pekerjaaan saya sebagai tukang ojek dan saya juga membuka usaha warung kecil-kecilan didepan rumah saya. Alhamdulilahh usaha dan pekerjaan saya dapat menghidupi keluarga. Saya dulu seorang yang penganut agama Tionghoa. Tetapi inilah keputusan yang saya ambil menjadi seorang mualaf.
Dari tahun 80an Saya sudah  masuk Agama Islam. Dulu Saya masih duduk dibangku sekolah kelas 2 SMP. Saya memiliki 2 anak, anak saya yang pertama sekolah di Pesantren di UIN Ciputat sudah semester 3, anak no 2. Istri saya asli Jogja, istri saya asli orang pribumi.
Saya ingin masuk Islam tetapi orang tua tidak mengijinkan. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari sekolah. Saya pergi merantau ke daerah-daerah sambil belajar cari ilmu. Karena orang tua tidak mengijinkan, yah hidup saya kesana kemari. Saya  bergaul sama orang-orang Islam dan sama teman-teman membaca buku karena itulah saya tertarik dengan Agama Islam.
Keluarga saya tidak pernah menganggap saya, sampai ada acara pun saya tidak dundang. Mereka bertingkah seolah tidak mengenal. Sampai saya usaha pun tetap dijauhi. Saat itu saya merasa sangat sedih, namun keputusan yang saya ambil tetaplah built. Ini adalah cobaan pertama yang diberikan oleh Tuhan di awal saya memeluk Islam.

Foto: Amir

Islam Itu Berkah
Setelah hampir 35 tahun, akhirnya keluarga saya mau menerima saya dan aga yang saya pilih. Saya masuk Islam tidak ada paksaan atau bujukan dari orang lain, ini atas kemauan saya sendiri. Alhamdulilah saya menjalankan agama saya dengan taat. Sholat 5 waktu. 
Menjalankan agama saya sampai menikah, memiliki kelurga yang berbahagia. Kesabaran saya ternyata membuahkan hasil. Perlahan satu persatu keluarga saya yang lain ikut meneruskan jejak saya, memilih Islam sebagai dasar kehidupan hingga akhir hayat.
Kakak saya yang perempuan menikah dengan seorang muslim, ia pun berikrar menjadi soerang muallaf. Kakak saya yang lain pun ikut menyusul memeluk agama Islam. Jadi keluarga saya sudah ada 3 yang menjadi muslim termasuk saya.
Berbeda dengan kondisi di awal saya, penolakan dari keluarga selalu datang ketika saya memeluk Islam, sekarang keluarga menyambut saya dan keluarga saya dengan suka cita. Tiap kali ada perkumpulan keluarga, mereka pun mengundang, saya, istri dan anak saya. Kami pun berpakaian seperti muslim lainnya, menggunakan peci dan jilbab, tidak ada larangan atau cemooh dari mereka semua. SAya sangat bersyukur atas keadaan ini. Dan saya benar-benar percaya bahwa Islam mambawa berkah dan kedamaian untuk umat manusia.
Perubahan demi perubahan pun saya alami ketika memeluk Islam. Benar, Islam itu adalah berkah. Kehidupan saya tidak pernah susah, banyak pertolongan yang Tuhan berikan dibalik setiap kesulitan saya alami.

Acara-acara muslim saya suka ikut, saya suka ikut serta kalau ada acara hajatan. Pengajian di taman kota. Rumah pun remain dikunjungi orang. Saya memiliki impian saya ingin anak-anak menjadi seorang pendakwa, memperdalam ilmu agama. Dan saya selalu mengatakan kepada orang-orang disekitar saya yang non muslim, bahwa Islam itu berkah.

Friday, 2 January 2015

HIjab Story: Anggia Mawardi Desainer

Anggia Mawardi, Desainer

Jilbab ini
Memberiku Inspirasi


Memutuskan berhijab ternyata memberikan berkah tersendiri bagi Desainer Busana Muslim asal Kota Kembang Bandung, Anggia Mawardi. Pasalnya, kebaikan berhijab tidak hanya ia rasakan sendiri. Sebagai seorang desainer, berhijab dan menggeluti dunia fashion busana muslim sekaligus ia jadikan sebagai syiar kepada muslimah lainnya.

Niat berhijab kepada setiap muslimah memang berebeda-beda. Terkadang datang lebih awal, terkadang pula niat dan hidayah tersebut datang ketika usia kita sudah semakin tua. Tidak ada yang tahu kapan Allah Swt mengetuk dan membuka hati seorang muslimah untuk menutup auratnya. BEgitu pula yang dialami oleh Anggia Mawardi. Ia baru memutuskan untuk berjilbab tahun 2007 silam.

Hidayah Dari Mimpi

Tahun 2007, Anggia memutuskan untuk menggunakan jilbab. Sebelumnya, saat masih kecil hingga remaja dan menikah, tidak ada niatan dalam dirinya untuk menggunakan jilbab. Saat itu memang kehidupan orang sekitarnya tidak menuntut dirinya untuk menggunakan Jilbab. Namun, lambat laun dan usia semakin matang. Wanita kelahiran  Jakarta, 5 November 1981 ini merasa di usianya yang semakin tua ia harus memperbaiki diri. "Saat masih kecil, kuliah bahkan saya mempunyai anak satu belum ada niatan untuk menggunakan jilbab. Waktu itu hati dan mata saya belum terbuka bahwa satu kewajiban seorang wanita adalah dianjurkan untuk menutup auratnya," jelasnya.




HIjab Story: Anggia Mawardi Desainer

Anggia Mawardi, Desainer

Jilbab ini
Memberiku Inspirasi


Memutuskan berhijab ternyata memberikan berkah tersendiri bagi Desainer Busana Muslim asal Kota Kembang Bandung, Anggia Mawardi. Pasalnya, kebaikan berhijab tidak hanya ia rasakan sendiri. Sebagai seorang desainer, berhijab dan menggeluti dunia fashion busana muslim sekaligus ia jadikan sebagai syiar kepada muslimah lainnya.

Niat berhijab kepada setiap muslimah memang berebeda-beda. Terkadang datang lebih awal, terkadang pula niat dan hidayah tersebut datang ketika usia kita sudah semakin tua. Tidak ada yang tahu kapan Allah Swt mengetuk dan membuka hati seorang muslimah untuk menutup auratnya. BEgitu pula yang dialami oleh Anggia Mawardi. Ia baru memutuskan untuk berjilbab tahun 2007 silam.

Hidayah Dari Mimpi

Tahun 2007, Anggia memutuskan untuk menggunakan jilbab. Sebelumnya, saat masih kecil hingga remaja dan menikah, tidak ada niatan dalam dirinya untuk menggunakan jilbab. Saat itu memang kehidupan orang sekitarnya tidak menuntut dirinya untuk menggunakan Jilbab. Namun, lambat laun dan usia semakin matang. Wanita kelahiran  Jakarta, 5 November 1981 ini merasa di usianya yang semakin tua ia harus memperbaiki diri. "Saat masih kecil, kuliah bahkan saya mempunyai anak satu belum ada niatan untuk menggunakan jilbab. Waktu itu hati dan mata saya belum terbuka bahwa satu kewajiban seorang wanita adalah dianjurkan untuk menutup auratnya," jelasnya.